Bisnis.com, JAKARTA – Kian rawannya sektor perbankan terhadap serangan siber bakal menuntut adanya peningkatan anggaran belanja modal atau capital expenditure (capex) yang lebih gemuk di masa mendatang untuk investasi teknologi informasi di industri ini.
Berita tentang langkah bankir menangkal serangan siber menjadi salah satu berita pilihan editor BisnisIndonesia.id. Selain berita tersebut, sejumlah berita menarik lainnya turut tersaji dari meja redaksi BisnisIndonesia.id.
Berikut ini highlight Bisnisindonesia.id, Kamis (24/8/2023):
1. Langkah Bankir Pertebal Capex IT demi Tangkal Serangan Siber
Berdasarkan data dari Checkpoint Research 2022, sektor jasa keuangan termasuk perbankan mendapatkan 1.131 kali serangan siber setiap pekannya.
Sementara itu, data International Monetary Fund (IMF) pada 2020 menyebutkan total kerugian rata-rata tahunan akibat serangan siber di sektor jasa keuangan secara global mencapai sekitar US$100 miliar.
Direktur Technology & Operations PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Toto Prasetio mengatakan bahwa seiring dengan pesatnya digitalisasi di sektor perbankan, keamanan siber pun menjadi tantangan.
Tren ke depan, serangan siber akan menjadi force majeure tersendiri di perbankan. Ditambah, banyak terjadi penipuan atau social engineering yang dilakukan dengan mengelabui nasabah perbankan.
2. RDG BI, Suku Bunga Kembali Ditahan?
Sejumlah ekonom perbankan memperkirakan Bank Indonesia (BI) masih akan terus menahan suku bunga acuan atau BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI-7DRR) 5,75 persen pada Agustus 2023 dan sepanjang tahun ini.
Ekonom Bank Danamon Irman Faiz menyampaikan dengan kondisi global yang masih tidak pasti, penurunan BI-7DRR belum menjadi pilihan meski inflasi sudah berada dalam sasaran 3,0±1 persen.
“Menurunkan suku bunga belum menjadi opsi dengan kondisi global sekarang. Paling cepat kami lihat awal kuartal dua tahun depan jika The Fed sudah mulai cut rate juga,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (23/8/2023).
Pada Juli 2023, Federal Reserve (The Fed) kembali mengerek suku bunga acuan (Fed Funds Rate/FFR) sebesar 25 basis poin menjadi 5,25 persen hingga 5,5 persen.
The Fed juga diperkirakan masih akan menaikkan satu hingga dua kali lagi FFR sepanjang 2023.
Sementara itu, Kepala Ekonom Bank Central Asia atau Bank BCA (BBCA) David E. Sumual melihat dengan inflasi yang mengarah ke level 2 persen pada akhir kuartal III/2023, memperkuat alasan BI untuk menahan suku bunga acuannya.
Setidaknya, suku bunga dengan tingkat 5,75 persen dipertahankan hingga akhir tahun selagi memantau kebijakan The Fed.
3. Memasifkan Pembiayaan & Pembangunan Perumahan Hijau Indonesia
Pemerintah mendorong pengembang untuk terus gencar dalam membangun properti hijau. Pemerintah juga mendorong pembiayaan perumahan hijau di Indonesia guna mengakselerasi transisi energi yang adil dan terjangkau. Indonesia sendiri menargetkan emisi nol bersih atau Net Zero Emission (NZE) pada 2060 mendatang.
Merujuk dalam Global Status Report for Buildings and Construction 2019 menyebutkan sektor properti dan konstruksi bertanggung jawab atas hampir 40 persen penggunaan energi akhir dan proses terkait emisi karbon dioksida. Sektor properti juga memiliki peran yang sangat penting untuk memenuhi tujuan internasional mencapai emisi nol bersih. Selain itu, pemanasan, pendinginan, pencahayaan bangunan sampai dengan infrastrukturdisebut menjadi kontributor utama emisi ini.
Untuk mencapai NZE pada 2060 mendatang sesuai dengan target pemerintah Indonesia tentu perlu kontribusi dari berbagai pihak termasuk sektor properti. Pasalnya, desain bangunan konon dapat berperan dalam mengatasi permasalahan lingkungan yang terjadi.
Pembangunan gedung yang ramah lingkungan memang tak mudah karena sebuah bangunan membutuhkan pendekatan berkelanjutan ketika didirikan hingga beroperasi. Penerapannya berlangsung selama perencanaan, pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan, renovasi, dam pembongkaran bangunan. Kontraktor akan berupaya meminimalisir dampak negatif agar bisa meningkatkan dampak positif bangunan terhadap lingkungan. Jadi ketika bangunan beroperasi, keberadaannya bisa mengurangi penggunaan energi serta limbah lingkungan.
Pemerintah mendorong para pengembang untuk terus gencar menerapkan konsep atau inisiatif bangunan hijau mengingat kesadaran masyarakat yang masih sangat rendah di Indonesia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah melalui UU No. 28/2002 telah mendorong pengembang untuk menerapkan konsep bangunan hijau. Kementerian keuangan telah mengimplementasikan berbagai program untuk mencapai keberlanjutan, termasuk salah satunya menerapkan insentif fiskal untuk menarik investasi agar dapat diarahkan ke proyek hijau dan industri hijau.
Insentif lainnya yang diberikan adalah berupa tax holidays dan tax allowances. Indonesia juga dalam proses menerapkan regulasi untuk menerapkan perdagangan karbon yang berfungsi sebagai instrumen yang ditujukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Namun demikian, pihaknya tak menampik besarnya dana yang dibutuhkan memenuhi kebutuhan bangunan hijau.
Berdasarkan data International Finance Corporation (IFC), total investasi bangunan hijau yang dibutuhkan kawasan Asia Pasifik dengan separuh penduduknya yang tinggal di perkotaan adalah sebesar US$17,8 triliun. Sementara untuk Indonesia, dibutuhkan investasi sebesar US$200 miliar atau sekitar Rp3.065 triliun dengan asumsi kurs Rp15.326 per US$ hingga 10 tahun ke depan.
4. Secercah Harapan bagi GIAA dari Wacana Merger dengan Pelita Air
Wacana merger antara tiga maskapai penerbangan milik negara, yakni Garuda Indonesia, Citilink, dan Pelita Air memantik harapan baru bagi kinerja bisnis dan saham PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk.
Hal ini setidaknya terlihat dari lonjakan harga saham emiten berkode GIAA itu hari ini, Rabu (23/8/2023). Saham GIAA terbang 9,59 persen atau menyentuh level auto rejection atas (ARA) ke level Rp80. Ini menandai penguatan selama 3 hari beruntun pada saham GIAA.
Meskipun demikian, pemulihan harga ini masih jauh dibanding pelemahan yang sudah terjadi sepanjang tahun ini. Dengan posisi harga terkini, saham GIAA masih tercatat anjlok 60,78 persen dibanding posisi akhir tahun 2022 lalu atau secara year-to-date (YtD).
Bursa Efek Indonesia juga masih menyematkan notasi khusus untuk GIAA, yakni notasi E atau saham emiten dengan ekuitas negatif, notasi X sedang dalam pemantauan khusus, serta notasi B berarti ada permohonan pernyataan pailit, permohonan pembatalan perdamaian, atau dalam kondisi pailit.
Naiknya harga saham GIAA tampaknya berkaitan erat dengan kabar yang berhembus dari Kementerian BUMN yang merencanakan penggabungan antara tiga maskapai penerbangan yang dimiliki negara.
Saat ini, Garuda Indonesia dan Citilink sudah berada di bawah Garuda Indonesia Group. Keduanya bakal digabungkan dengan PT Pelita Air Service, anak usaha dari PT Pertamina (Persero) yang bergerak di industri penerbangan dengan bendera Pelita Air.
Rencana tersebut dikonfirmasi oleh Menteri BUMN Erick Thohir. Dia mengatakan bahwa rencana ini merupakan salah satu upaya agar biaya logistik di Indonesia terus menurun sehingga makin meringankan dunia bisnis.
5. Indonesia Siap, Malah India Hambat Penerapan Pajak Global
Indonesia, Korea Selatan, Australia, China terus bersiap dalam implementasi Pilar II dalam solusi dua pilar perpajakan internasional. Namun, India terpantau belum ada rencana dalam penerapannya.
Implementasi Solusi II Pilar perpajakan internasional dinilai mampu menjadi solusi dalam sistem pajak global yang selama ini dianggap sudah tidak relevan sehingga memicu peningkatan risiko praktik penghindaran pajak.
Partner and Senior Foreign Attorney Co-Head of International Tax Lee & Ko Tom Kwon menyampaikan bahwa saat ini Korea Selatan memberlakukan pajak minimum global Global Anti-Base Erosion (GloBE) yang merupakan pilar II.
Korsel menjadi negara pertama yang memberlakukan aturan GloBE, yaitu Income Inclusion rule (IRR) dan Undertaxed Profits Rule (UTPR), ke dalam undang-undang domestiknya.
“Awalnya, peraturan GloBE Korea [baik IIR maupun UTPR] dijadwalkan berlaku efektif untuk tahun fiskal yang dimulai pada atau setelah 1 Januari 2024. Namun, ada proposal terbaru untuk menunda tanggal efektif UTPR hingga 1 Januari 2025,” ujarnya dalam Bloomberg Tax - Latest Developments on Pillar Two in the Asia-Pacific Region, Rabu (23/8/2023).
Sementara perwakilan dari Australia dan Indonesia, kompak bahwa masing-masing negara telah mulai mengambil langkah untuk implementasi.