Bisnis.com, JAKARTA - Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) Sunarso menyebut kondisi likuiditas perbankan kian ketat. Apalagi di tengah ketidakpastian ekonomi global dan keputusan Bank Indonesia untuk menahan suku bunga acuan.
Menurutnya, perbankan perlu menanggapi situasi dengan menyiapkan respons yang strategis. Utamanya dalam menghimpun dana pihak ketiga (DPK).
“Likuditas memang ketat, tapi kami masih berkomitmen untuk mendorong pertumbuhan kredit sesuai dengan guidance yang kita buat, yang akan tumbuh 10 hingga 12 persen. Sementara, untuk sekarang pertumbuhan kredit BRI masih ada di angka 8,8 persen, ” ujarnya dalam paparan kinerja, Rabu (30/8/2023).
Sunarso menggambarkan pendekatan likuiditas yang digunakan BRI sebagai "just right liquidity," yang artinya likuiditas yang tidak berlebihan namun juga tidak kekurangan.
Pendekatan ini mengisyaratkan bahwa BRI berusaha menjaga keseimbangan yang tepat antara ketersediaan dana dan penggunaannya, untuk mendukung operasional dan pertumbuhan yang optimal.
“Menurut saya kalau kita belum bisa menyalurkan kredit secara agresif, ya kita enggak perlu jor-joran cari dana mahal. Tapi, ketika kita bisa menumbuhkan kreditnya dengan baik, maka kita pun harus menyiapkan dananya. Apabila, kreditnya bisa tumbuh melebihi target kita, artinya kita harus lebih hati-hati,” jelasnya.
Sepanjang paruh pertama 2023, tingkat rasio kredit terhadap simpanan (loan to deposit ratio/LDR) BRI mencapai 87,83 persen, yang diharapkan dapat mencapai target LDR ke level yang optimal. Yaitu pada rentang 90 hingga 95 persen.
Namun, Sunarso mengatakan bahwa BRI membutuhkan strategi jangka pendek untuk mencari sumber pendanaan.
Untuk sumber likuiditas, prioritas utama pemberian kredit BRI berasal dari dana murah atau current account savings account (CASA).
“Sumber kedua mungkin non-CASA yaitu deposito. Itu pasti harganya lebih tinggi. Tapi, kalau dari CASA enggak cukup, kemudian dari deposito. Lalu jika dari deposito enggak cukup, kami masih punya treasury asset. Tapi, kami belum melakukan itu secara besar-besaran, karena LDR kami masih 87 persen,” ungkapnya.
Dalam situasi ekonomi tertentu, Sunarso meyakini lebih penting untuk mendorong pertumbuhan kredit daripada terlalu fokus pada upaya mendapatkan dana dengan suku bunga yang lebih tinggi.
“Dalam situasi likuiditas, jangan ada duit nganggur. Dalam likuiditas yang ketat, duit harus kita dorong agar memberikan arti, berkontribusi dalam pembangunan ekonomi nasional, salah satunya lewat ekosistem yang digerakkan oleh transaksi digital."
Adapun, guna mempertahankan kinerja keuangan yang berkelanjutan, BRI terus menerapkan penguatan terhadap aspek Environment, Social & Governance (ESG) secara komprehensif, baik dalam kegiatan bisnis maupun operasional.
Porsi kredit ESG BRI telah mencapai 67,2 persen dari total portofolio kredit, atau senilai Rp732,3 triliun per semester I/2023. Aspek sosial melalui pemberdayaan UMKM menjadi penopang utama pertumbuhan kredit berbasis ESG BRI.
“Tak hanya memberikan akses pembiayaan kepada segmen UMKM, BRI juga melakukan program pemberdayaan dengan tujuan mendorong para pelaku UMKM tersebut agar naik kelas”, ungkap Sunarso.
Berdasarkan paparan kinerja hari ini, Rabu (30/8), BBRI menutup semester I/2023 dengan capaian kenaikan dana pihak ketiga (DPK) 9,51 persen yoy. Tepatnya dari Rp1.136,99 triliun menjadi Rp1.245,12 triliun.
DPK ditopang komposisi dana murah atau current account savings account (CASA) BRI yang menyentuh 65,49 persen dibanding periode sebelumnya, yang 62,12 persen. Bila dirinci, CASA naik 10,13 persen yoy menjadi Rp815,42 triliun per semester I/2023 dari yang sebelumnya Rp740,42 triliun.