Bisnis.com, JAKARTA - Transisi energi menjadi salah satu pembahasan krusial selama beberapa waktu ke belakang.
Teranyar, pembahasan revisi taksonomi hijau Indonesia (THI) yang sedang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), secara cepat ataupun lambat akan menentukan langkah perbankan dalam memacu portofolio kredit hijau atau pembiayaan ramah lingkungan ke depan.
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengungkapkan kini regulator juga sedang mengambil langkah proaktif dalam mengevaluasi apakah penggunaan energi dari PLTU batu bara dalam produksi baterai hingga kendaraan listrik sebagai bagian dari pendekatan berbasis hijau dan berkelanjutan atau tidak.
“Karena pada gilirannya, kita lihat hasil akhir dari suatu rantai pasok, sekiranya hal [PLTU batu bara] tadi memberikan dampak positif yang lebih besar, maka terdapat kemungkinan perhitungan secara satu kesatuan integrasi rantai pasok [baik dari produksi hulu ke hilirnya] bisa dianggap hijau,” ungkapnya dalam Konferensi Pers Hasil RDK OJK Agustus 2023 pada Selasa (8/6/2023).
Sebagai informasi, penyesuaian dan pembaruan terhadap regulasi ini memang dilakukan seiring dengan adanya perkembangan yang terjadi di kawasan maupun internasional. Apabila, jika percepatan pengakhiran PLTU batu bara umumnya terkait dengan pembangunan pembangkit listrik energi baru atau terbarukan.
Taksonomi Hijau sendiri berfungsi memberikan pemahaman dan panduan bagi lembaga keuangan dalam mengklasifikasi aktivitas hijau agar memudahkan perusahaan keuangan memastikan proyek yang dibiayai memberikan dampak baik terhadap lingkungan ataupun sebaliknya.
Sejauh ini, ASEAN Taxonomy Board (ATB) pun telah menyetujui secara terpisah pengakhiran dini dari PLTU bisa dianggap hijau sekalipun tidak dikaitkan dengan pembangunan pembangkit listrik dari sumber energi baru terbarukan.
“Jadi, proses revisi terkait dengan PLTU batu bara early retirement project yang berdiri sendiri tanpa terkait renewable energy yang harus dibangun itu sudah dinyatakan hijau, dan ini akan dituangkan lebih lanjut dalam taksonomi hijau sustainable finance Indonesia yang merevisi dari THI saat ini," jelas Mahendra.
Jika dilihat berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia yang dirilis OJK, kredit untuk industri pertambangan dan penggalian mencapai Rp256,41 miliar pada Mei 2023, angka ini naik dari yang sebelumnya Rp187,43 miliar secara tahunan (year-on-year/yoy).
Sementara jika dilihat secara bulanan, tercatat sejak Januari mencapai Rp220,96 miliar, lalu Februari Rp230,13 miliar, disusul Maret Rp237,22 miliar dan terakhir April 2023 mencapai Rp232,25 miliar.
Seiring dengan perkembangan ini, jika melihat pendekatan yang diambil oleh berbagai bank terhadap sektor batu bara dalam konteks keberlanjutan pun cukup bervariasi.
Misalnya, PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) yang mencatat komposisi kredit perseroan untuk sektor batu bara sangatlah kecil. Per Juni 2023, porsi kredit batu bara hanya sebesar 0,4 persen dari Rp735,9 triliun total kredit yang disalurkan perseroan. Pembiayaan ini pun dilakukan dalam rangka mendukung penyediaan pasokan listrik bagi masyarakat.
EVP Corporate Communication and Social Responsibility BCA Hera F. Haryn menyebut sebagai bagian dari perbankan nasional pada prinsipnya mendukung berbagai kebijakan pemerintah, regulator, serta otoritas perbankan dalam rangka percepatan transisi energi serta pencapaian target penurunan emisi karbon di Indonesia.
“Kami terus mendorong portofolio kredit keuangan berkelanjutan [sustainable finance]. Penyaluran kredit ke sektor-sektor berkelanjutan naik 6,9 persen year-on-year mencapai Rp181 triliun di Juni 2023, berkontribusi hingga 24,3 persen terhadap total portofolio pembiayaan BCA,” sebutnya pada Bisnis beberapa waktu lalu.
Pembiayaan berkelanjutan BCA salah satunya mengalir ke sektor energi terbarukan sektor kelistrikan. Tercatat total kapasitas energi yang dihasilkan mencapai 210 MW.
Mulai dari, Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro (PLTM), Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm), dan Pembangkit Listrik Tenaga Biogas (PLTBg), hingga Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
Di sisi lain, Direktur Institutional Banking DBS Indonesia Kunardy Lie mengatakan perseroan secara perlahan mengurangi pembiayaan dan tetap membuka peluang pembiayaan batu bara, dengan catatan untuk melakukan transisi energi.
Hal ini lantaran, meski batu bara menjadi sumber energi paling murah di Indonesia dan peluang membiayai batu bara masih besar, tetapi bank tidak bisa terus menerus membiayai proyek batu bara karena dampaknya akan sulit mendapat perlindungan asuransi.
“Semua orang sudah menghindar ke sana [batu bara], apalagi global warming kan makin parah. Sebenarnya, kita harus mengimbangi ESG dengan energy security, karena tidak mungkin tiba-tiba gelap gulita. Makanya batu bara harus secara bertahap di shut down, misal waktunya masih 20 tahun, ya kita coba kurangi jadi 15 tahun, ini kan cara kontribusi kita,” katanya.
Saat ini, DBS Indonesia mencatat menyalurkan pembiayaan senilai US$200 juta kepada sebuah perusahaan yang berhubungan dengan industri batu bara.
“Namun, penting untuk dicatat bahwa pembiayaan ini tidak langsung terkait dengan tambang batu bara atau eksploitasi batu bara, melainkan digunakan untuk aktivitas atau proyek yang lebih berkelanjutan,” ucap Kunardy.
Untuk penyaluran kredit hijau Bank DBS Indonesia telah membukukan pembiayaan keberlanjutan, termasuk transition loan sebesar Rp4 triliun per Juli 2023 atau naik 253 persen sejak tahun lalu.
Kunardy pun optimistis perseroan mampu membidik pembiayaan berkelanjutan hingga Rp5,5 triliun pada akhir tahun ini.
Selanjutnya, saat disinggung soal pembiayaan ke arah charging station, DBS Indonesia sangat tertarik untuk bisa memberikan financing ke segmen tersebut.
“PLN saat ini sedang me-rollout charging station sebagai infrasturktur di Indonesia, kalau berbicara EV [electric vehicle], ya ini sangat penting, karena EV perlu infrastruktur charging, kalau enggak ya enggak bisa jalan. Jadi, ini akan menjadi ekosistem yang menyatu,” ujarnya pada Bisnis.
SVP Head of Research Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan pun mengatakan pengurangan porsi ke sektor batu bara sendiri tidak akan berpengaruh besar pada kinerja perbankan. Namun, hal ini perlu dilakukan secara bertahap oleh perbankan, bukannya langsung sekaligus.
“Adanya tuntutan dari penerapan ESG, membuat bank mulai mengurangi porsi pembiayaan ke sektor batu bara dan diharapkan dapat berganti ke energi terbarukan. Namun, seperti kita lihat juga kebutuhan batu bara sebagai sumber energi juga masih banyak terutama menjelang musim dingin di Eropa sekitar bulan-bulan November-Desember,” katanya pada Bisnis, Rabu (6/9/2023).
Bahkan, dirinya mengartikan tuntutan perbankan untuk mengurangi porsi ini pun tak semata-mata dari aturan ESG dari pemerintah untuk perbankan
Pasalnya, menengok pernyataan Direktur DBS, itu berarti perusahaan asuransi juga telah mulai menerapkan persyaratan tertentu, di mana perbankan yang ingin tetap mendapatkan layanan asuransi harus menghindari pembiayaan proyek batu bara. Dengan demikian, hal ini dinilai menjadi kegamangan perbankan untuk terus menyalurkan kredit ke sektor batu bara.