Bisnis.com, JAKARTA -- Layanan jasa pengiriman uang lintas negara alias remitansi kerap digunakan masyarakat untuk mengirim dana antar negara. Sayangnya, masih banyak masyarakat yang belum mengetahui berapa besar biaya remitensi yang sebenarnya.
Berdasarkan riset independen dari Capital Economics, masyarakat Indonesia kehilangan sekitar Rp15,09 triliun setiap tahun untuk biaya penukaran mata uang asing atau valuta asing (valas).
Adapun, sekitar Rp6,83 triliun merupakan biaya yang disembunyikan dalam bentuk markup nilai tukar, pembayaran, dan pembelian menggunakan kartu kredit. Sisanya, yakni sebesat Rp8,26 triliun merupakan biaya transaksi.
Country Manager Wise Indonesia Elian Ciptono mengatakan Upfront fee yang biasanya diungkapkan oleh provider seringkali berbeda dari biaya yang sebenarnya ditagih.
Meski sebagian besar masyarakat Indonesia, mengetahui dua biaya utama untuk transfer internasional, yaitu biaya transaksi di muka (upfront fee) dan biaya nilai tukar (exchange rate fee).
Namun, masih banyak yang belum mengetahui biaya remitansi yang sebenarnya. Saat ini, biaya pengiriman uang antar negara rata-rata mencapai 6,3%.
Baca Juga
Itu artinya jika nasabah melalukan transfer uang sebesar US$ 1.000 atau sekitar Rp 15 juta ke Indonesia masih dikenakan biaya sebesar USD 63 atau sekitar Rp1 juta.
“Provider cenderung untuk tidak menggunakan kurs tengah dan tidak mengungkapan markup yang ditambahkan pada nilai tukar. Akibatnya, konsumen tidak sadar kalau mereka dikenakan biaya tambahan,” katanya dalam Press Briefing Wise di Jakarta, Rabu (18/10/2023).
Lebih lanjut, Elian menilai adanya peningkatan kebutuhan dalam memindahkan uang antar negara terdorong karena beberapa faktor.
“Lebih dari 50.000 pelajar Indonesia yang menempuh pendidikan di luar negeri setiap tahunnya. dan orang tua dari pelajar-pelajar ini, termasuk dari sekian konsumen Indonesia yang sering mengirim uang ke luar negeri,” ujarnya.
Menurut studi Wise, pada 2022, mereka membayar total biaya sebesar Rp 4,03 triliun, termasuk Rp 2,70 triliun untuk biaya transaksi dan Rp 1,32 triliun untuk margin nilai tukar.
Tak hanya itu, Tenaga Kerja Indonesia (TKI) juga merupakan kelompok masyarakat yang ikut terdampak oleh biaya tersembunyi.
Pasalnya, pada 2021, terlihat bahwa negara-negara dengan jumlah TKI terbanyak mencakup negara-negara yang mengirimkan remitansi terbesar ke Indonesia, yakni Arab Saudi (37,5%), Malaysia (25,2%), Uni Emirat Arab (7,5%), dan Singapura (4,1%).
“Konsumen-konsumen ini tercatat membayar Rp7,61 triliun untuk biaya transfer pada 2022, termasuk Rp 4,76 triliun untuk biaya transaksi dan Rp 2,84 triliun untuk markup nilai tukar,” ujarnya.
Studi ini juga mengungkap bahwa wisatawan Indonesia mengeluarkan total biaya sebesar Rp 3,45 triliun ketika mereka berbelanja di luar negeri, di mana Rp 2,66 triliun disembunyikan dalam bentuk markup nilai tukar.
Buka Peluang Kolaborasi
Wise, yang merupakan platform Fintech transfer uang internasional, terus memperkuat basis pelanggan di Indonesia. Elian pun mengatakan pihaknya terbuka untuk bekerja sama dengan banyak lembaga keuangan.
Teranyar, Wise mengumumkan kerja sama dengan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) di mana, sebagai mitra pertama, Wise mengintegrasikan API (Application Programming Interface) sebagai infrastruktur white-labelled untuk melakukan transfer uang ke luar negeri dari aplikasi Livin’ by Mandiri.
Elian mengatakan jika dibandingkan dengan sistem Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication alias SWIFT, yang dibuat untuk menyediakan cara pengiriman pembayaran internasional, pihaknya memiliki fee yang lebih rendah, di mana hanya 0,67 persen. Sementara industri secara global ada di 6,3 persen.
“Kami punya biaya 10 kali lebih murah ya. Dibandingkan perbankan] melakukan replikasi [sistem], akan jauh impactful untuk bekerja sama dengan Wise. Itu alasan kami berpartner dengan Bank Mandiri. Jadi lebih efisien ya,” ucapnya.
Ke depannya, terus terbuka untuk perbankan yang bekerja sama dengan Wise.
“Kami juga sudah ada 70 partner yang terus bertambah tiap bulan,” tuturnya.
Dia pun menambahkan untuk saat ini tren bisnis remitensi yang terjadi di tengah perkembangan internet dan teknologi, membuat masyarakat Tanah Air makin mengincar layanan yang lebih baik, lebih cepat, dan harga yang lebih terjangkau.
"Kami melihat penurunan yang signifikan pada biaya layanan mata uang asing dalam tahun-tahun terakhir di Indonesia, dari Rp 21,47 triliun pada 2018 menjadi Rp 15,09 triliun pada 2022. Kami melihat ini sebagai evolusi dan tren di seluruh industri menuju transparansi yang lebih baik yang menguntungkan semua pihak,” tutupnya.