Bisnis.com, JAKARTA — Besarnya potensi penyaluran kredit hijau di Indonesia menjadi amunisi baru perbankan untuk meningkatkan bisnis sekaligus melindungi keberlanjutan bumi.
Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin mengatakan penyaluran kredit hijau di Indonesia potensial menjadi sumber baru pertumbuhan ekonomi. Semakin besar penyaluran kredit, maka pertumbuhan ekonomi semakin menanjak.
"Kontribusi kredit hijau sendiri ke Indonesia bisa tumbuh signifikan. Meskipun, saat ini masih tergolong kecil," ujarnya kepada Bisnis, Minggu (22/10/2023).
Apalagi, penyaluran kredit hijau saat ini dalam tren tumbuh positif. "Peluangnya terbuka lebar. Di satu sisi jadi model bisnis baru bagi lembaga jasa keuangan, termasuk bank. Sekarang pun mengemuka secara global isu ESG [environmental, social, and governance] dan jadi tren. Proses percepatan kredit hijau ini harusnya jadi menarik," tutur Amin.
Sebelumnya, Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam acara Rapat Umum Anggota (RUA) Perhimpunan Bank Umum Nasional (Perbanas) per Juli lalu (20/7/2023) menyoroti peran strategis pembiayaan berkelanjutan, termasuk kredit hijau dalam mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Baca Juga
Menurutnya, saat ini isu-isu terkait ESG serta perubahan iklim telah menjadi topik utama para pemimpin dunia. Berbagai negara pun telah mengambil tindakan serius dalam mengatasi perubahan iklim dan implementasi ESG.
Indonesia sebagai bagian dari komunitas global pun turut berkomitmen melalui enhanced nationally determined contribution yang tujuannya mengurangi emisi gas rumah kaca hingga sebesar 31,9 persen pada 2030 serta net zero emissions (NZE) pada 2060.
Adapun, berbagai agenda-agenda ekonomi berkelanjutan itu membutuhkan dukungan menyeluruh dari sektor jasa keuangan untuk menggerakkan sektor riil dengan menyelaraskan kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup.
Presiden Direktur HSBC Indonesia Francois de Maricourt juga mengatakan peluang ekonomi berkelanjutan baru nilainya bisa mencapai US$20 miliar. Peluang hadirnya ekonomi berkelanjutan baru di Indonesia itu menurutnya terbuka lebar dengan berbagai alasan.
Indonesia misalnya merupakan salah satu negara di Asia Tengara yang memiliki risiko paling besar terkena dampak perubahan iklim. Berdasarkan data Bank Pembangunan Asia, perubahan iklim akan memangkas Pertumbuhan Domestik Bruto (GDP) negara-negara di Asia Tenggara sebesar 11 persen pada akhir abad ini.
Kemudian, transisi energi juga menjadi salah satu priorotas pemerintah Indonesia saat ini. Ia mengatakan saat dunia bergerak menuju ekonomi hijau dan berkomitmen pada keberlanjutan, Indonesia telah memulai perjalanan menuju netralitas karbon dengan komitmen mencapai emisi karbon netral pada 2060.
Sementara, untuk mencapai potensi itu diperlukan modal yang besar. Khusus pada transisi energi terbarukan, diperlukan investasi energi terbarukan dengan nilai US$8 miliar per tahun.
Mengacu data dari Nationally Determined Contribution (NDC), Indonesia sendiri memerlukan pembiayaan sebesar Rp4.520 triliun untuk melakukan aksi mitigasi dalam peta jalan NDC. Dana sebesar itu tidak semuanya bisa dipenuhi oleh APBN. Perlu dorongan dari kredit hijau.
"Institusi keuangan, termasuk bank seperti HSBC, memiliki peran krusial dalam menghubungkan investor dengan peluang berkelanjutan dan mendukung perusahaan lokal dalam mengadopsi standar keberlanjutan internasional,” kata Francois dalam HSBC Summit 2023 pada beberapa pekan lalu (11/10/2023).
HSBC sendiri sebagai bank turut menggenjot potensi ekonomi berkelanjutan baru ini di Indonesia, di antaranya melalui penyaluran kredit hijau. Untuk diketahui, secara global, HSBC telah mengalokasikan hingga US$1 triliun, dalam keuangan dan investasi, pada 2030 untuk mendukung klien HSBC dalam membuktikan bisnis mereka di masa depan, termasuk pembiayaan atau kredit hijau.
Tahun ini, HSBC telah menyalurkan sejumlah kredit hijau kepada berbagai sektor. Terbaru, HSBC Indonesia menyalurkan pinjaman berjangka hijau senilai US$20 juta kepada PT Indo-Rama Synthetics, Tbk. (INDR), anak perusahaan dari Indorama Corporation Pte. Ltd., Singapore (Indorama).
Pinjaman berjangka hijau digunakan untuk mendukung upaya Indo-Rama mengurangi konsumsi energi melalui instalasi mesin-mesin baru dengan teknologi dan penggunaan energi yang lebih efisien pada perluasan pabrik benang pintal, serta meningkatkan pencapaian ESG dari Indorama Group secara keseluruhan.
Pada April lalu, HSBC juga telah menyalurkan kredit hijau berjangka sebesar US$10,3 juta dengan jangka waktu 6 tahun kepada PT Euroasiatic Heat and Power Systems (Euroasiatic) untuk proyek pembangkit listrik turbin gas dengan sistem pembangkitan bersama berbahan bakar gas alam.
Francois de Maricourt mengatakan HSBC memang berkomitmen secara luas dengan terus mengembankan keuangan keberlanjutan melalui kemitraan strategis antara pemerintah dengan swasta.
”Kami berperan aktif dalam inisiatif strategis seperti Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ) melalui mekanisma Just Energy Transition Partnership (JETP),” katanya.
Dorongan Regulasi
Di Indonesia, upaya menggenjot penyaluran kredit hijau juga diiringi dengan dukungan regulasi. Bank Indonesia (BI) misalnya mengeluarkan kebijakan makroprudensial yang mendorong kredit hijau. BI telah menyalurkan insentif bagi bank yang menyalurkan kredit ke 42 sektor prioritas termasuk sektor hijau.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mendorong pertumbuhan ekonomi hijau, apalagi setelah disahkannya Undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK). Dalam UU PPSK, pasal 6 ayat 1b menyebutkan bahwa OJK memiliki tugas baru untuk mengatur dan mengawasi keuangan derivatif dan bursa karbon. Adapun hal tersebut mencakup perdagangan instrumen yang berkaitan dengan nilai ekonomi karbon.
Regulator telah menerbitkan insentif di sejumlah sektor keuangan, salah satunya bertujuan mendukung program percepatan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB).