Bisnis.com, JAKARTA - Saat ini, sejumlah perbankan melihat terbukanya peluang peningkatan pembiayaan hijau selaras dengan semakin banyaknya pelaku usaha yang mulai memperhatikan aspek lingkungan dalam menjalankan bisnisnya, serta adanya dukungan dari pemerintah dan regulator.
Sebagai informasi, pemerintah Indonesia memang tengah mengatasi perubahan iklim, mengupayakan pembangunan berkelanjutan, serta menurunkan emisi Gas Rumah Kaca hingga mencapai Net Zero Emission pada tahun 2060, sebagaimana tertuang dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) Indonesia.
Komitmen ini pun beriringan dengan pembahasan revisi taksonomi hijau Indonesia (THI) yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Di mana, secara cepat ataupun lambat bakal menentukan langkah perbankan dalam memacu portofolio kredit hijau atau pembiayaan ramah lingkungan ke depan.
PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) misalnya yang mencatat hingga Juni 2023, penyaluran kredit ke sektor-sektor berkelanjutan mencapai Rp181,2 triliun atau tumbuh 6,9 persen YoY, dan berkontribusi hingga 24,3 persen terhadap total pembiayaan BCA. Termasuk dalam pembiayaan berkelanjutan adalah pembiayaan hijau yang mencapai Rp71,4 triliun.
EVP Corporate Communication and Social Responsibility BCA Hera F. Haryn tak menampik bahwa sejauh ini memang sudah ada insentif yang diberikan oleh pemerintah, otoritas perbankan, maupun regulator kepada pelaku bisnis, seperti insentif untuk mendukung pengembangan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) dan properti hijau.
Menurutnya ada sejumlah bentuk insentif lain yang juga dapat mendorong tumbuhnya ekonomi hijau.
“Antara lain pemberian insentif dalam bentuk aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR) untuk perbankan, kemudahan pengurusan dan keringanan biaya sertifikasi kegiatan usaha bagi debitur, hingga pengurangan pajak,” ujarnya pada Bisnis, Jumat (15/9/2023).
Ke depan, Hera menambahkan prospek kredit berkelanjutan BCA cukup baik dan masih banyak peluang pembiayaan ke sektor-sektor berkelanjutan.
BCA tidak membidik sektor tertentu, namun membuka kesempatan untuk pembiayaan ke seluruh sektor berkelanjutan.
“Selain meningkatkan pembiayaan berkelanjutan, BCA senantiasa berkoordinasi dan berkomunikasi dengan seluruh pemangku kepentingan, termasuk regulator dan otoritas, dalam rangka mendukung pencapaian target penurunan emisi karbon serta Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia,” ungkapnya.
Hal ini pun diamini oleh Presiden Direktur PT Bank CIMB Niaga Tbk. (BNGA) Lani Darmawan. Bahkan, pihaknya turut mengajak para pengusaha untuk memberikan masukan soal insentif. Pasalnya, pemerintah Indonesia sendiri sangat terbuka untuk mendapatkan input dari industri.
“Insentif itu perlu. Bisa dari pajak, permodalan, risk weight calculation dan juga insentif yg mengacu ke DPK seperti yg diberikan kepada SME. Juga insentif kepada dunia usaha,” ujarnya pada Bisnis, Kamis (14/9/2023).
Di sisi lain, Director of Treasury and International Banking Bank Mandiri Eka Fitria pun mengatakan untuk mempercepat implementasi energi terbarukan di Indonesia, menurutnya perlu ada insentif lanjutan yang dapat mendorong akselerasi pendanaan proyek-proyek energi terbarukan alias renewable energy.
“Sekarang kita tahu ada insentif terkait electric vehicle [EV], tetapi masih sangat terbatas. Pagar-pagarnya lumayan banyak ketika ingin diterapkan,” ujarnya dalam acara ‘Indonesia Green Incorporated – Driven Collaborations and Cooperation to Spearhead Sustainability, Rabu (13/9).
Lebih lanjut, dia mengatakan yang menjadi kendala kala pemain-pemain besar itu terbentur dengan aturan maksimal penyaluran kredit sehingga dibutuhkan ruang yang lebih lapang.
Mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.32/POJK.03/2018 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit dan Penyediaan Dana Besar bagi Bank Umum, penyaluran kredit untuk pihak terkait atau terafiliasi maksimal 10 persen dari modal tier 1.
Sementara itu, untuk pihak tidak terkait maksimal 25 persen dari modal tier 1. Ruang lapang ini dibutuhkan karena pendanaan terkait transisi energi berukuran jumbo. Sementara itu, Analis Senior Direktorat Pengembangan Pasar Modal dan Pasar Modal Syariah Otoritas Jasa Keuangan Aryo Yoga Pratama pun mengatakan saat ini OJK sedang melakukan penyesuaian atas revisi taksonomi hijau Indonesia seiring dengan adanya perkembangan yang terjadi di kawasan maupun internasional.
“Untuk tahap awal tidak seluruh industri yang diambil dalam taksonomi tersebut, mungkin pertama energi, sesuai dengan yang dikeluarkan ASEAN Taxonomy Board (ATB)“ ujarnya.
Adapun, saat disinggung soal permintaan perbankan mengenai insentif, pihaknya tak menampik bahwa itu merupakan salah satu roadmap dalam pengembangan sustainable finance. “Insentifnya apa kalau saat ini di pasar modal ada insentif pengurangan biaya pendaftaran sampai dengan 75 persen, bursa juga ada pencatatan diskon 50 persen, tapi untuk ke depan masih kita lihat, apa yang bisa kita kembangkan untuk insentif tersebut,” ujarnya pada Bisnis.
Pada kesempatan terpisah, Senior Vice President Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan mengatakan pemberian insentif perlu dilakukan agar perbankan lebih aktif terjun ke industri hijau dalam mendukung keberlanjutan. Menurutnya, insentif dapat berupa insentif ATMR, pajak maupun subsidi bunga.
“Iya saya rasa perlu ya. Lalu, ATMR sendiri artinya portofolio kredit hijau mendapat keringanan untuk aktiva tertimbang menurut risiko dimana perlakuannya khusus tidak seperti kredit pada umumnya,” ujarnya saat dihubungi Bisnis, Kamis (14/9/2023).
Sementara, hal berbeda disampaikan oleh Executive Director Segara Research Institute Piter Abdullah yang menyatakan perbankan tidak memerlukan insentif, justru insentif dibutuhkan untuk proyek-proyek hijau. “Bank sifatnya menunggu. Kalau proyek-proyek hijaunya banyak yang dikerjakan dan membutuhkan pembiayaan, maka bank akan membiayai. Percuma kasih insentif ke bank kalau proyek-proyek hijaunya tidak ada yang mengajukan pembiayaan,” ucapnya.
Bagi Piter, untuk mendorong pembiayaan proyek hijau, pemerintah perlu memberikan insentif kepada pengusaha untuk mengerjakan proyek-proyek hijau. Lebih lanjut, insentif itu dapat berupa kemudahan perizinan atau bahkan kemudahan pajak. Bahkan, dirinya menyatakan sebaiknya regulator tidak memberikan kemudahan dalam bentuk pelonggaran batas maksimal penyaluran kredit, karena menyangkut prinsip kehati-hatian bank.