Bisnis.com, JAKARTA - Rencana pemisahan atau spin-off unit usaha syariah (UUS) Bank Tabungan Negara (BTN) telah memasuki babak baru. Kehadiran bank syariah terbesar kedua setelah Bank Syariah Indonesia (BSI) pun diyakini segera terwujud.
Pada Kamis (5/6/2025), BBTN resmi menandatangani akta jual beli dan pengambilan saham PT Bank Victoria Syariah. Hadir Direktur Utama BTN Nixon LP Napitupulu, Direktur Utama Bank Victoria International (BVIC) Achmad Friscantono, dan Presiden Direktur Victoria Investama (VICO) Aldo Tjahaja dalam acara tersebut.
Dengan pengambilalihan ini, BTN pun memiliki kurang lebih 99% saham Bank Victoria Syariah yang menjadi cangkang dari bank umum syariah baru hasil spin-off nanti. Sementara itu, sisanya atau nol koma sekian persen saham Bank Victoria Syariah saat ini masih dimiliki oleh Balai Harta Peninggalan Jakarta.
Nixon menjelaskan bahwa proses ini merupakan bagian terintegrasi dari pemisahan atau spin-off UUS BTN yang ditargetkan rampung dalam dua hingga tiga bulan ke depan.
Dia pun menargetkan bank baru hasil spin-off ini dapat menjadi bank syariah terbesar kedua di Indonesia, setelah BSI.
“Kemudian targetnya, kita sudah janji ke Pak Menteri [BUMN] untuk menjadikan bank ini menjadi bank syariah terbesar kedua, tidak terlalu lama dari sekarang,” katanya di Menara 1 BTN, Jakarta Pusat, Kamis (5/6/2025).
Menurutnya, BTN Syariah nantinya akan hadir dengan nama baru, kendati dia tak memberikan bocorannya. Pihaknya telah menyusun peta jalan calon bank ini menjadi digital sharia banking yang fokus memberikan layanan digital inklusif, efisien, dan berbasis nilai syariah.
Selain itu, BTN disebutnya akan melakukan penguatan permodalan calon anak usahanya ini melalui hak memesan efek terlebih dahulu atau right issue sebelum spin-off dinyatakan rampung.
Sebagai bank yang identik dengan bisnis perumahan, Nixon menyebut bahwa BTN Syariah hasil spin-off masih akan berfokus pada KPR Syariah serta melayani kebutuhan lain seperti pendanaan dan transaksi.
“Kemudian tentu saja kita setelah ini akan bekerja mengintegrasikan beberapa proses seperti teknologi informasi, SDM, model bisnis, dan tata kelola,” paparnya.
Terkait dengan nilai transaksi akuisisi tersebut, Nixon menyebut angkanya kurang lebih Rp1,5 trillium. "Plus minus sedikit begitu, ya, atau setara 1,4 sampai 1,5 kali buku," jelasnya.
Langkah Selanjutnya
Lebih lanjut, Nixon berujar bahwa proses berikutnya akan mencakup Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) baik di lingkup Bank Victoria Syariah maupun BTN sendiri.
Pasalnya, BTN akan melepas aset UUS yang terbilang besar dengan perkiraan Rp65 triliun–Rp67 triliun menjelang spin-off rampung pada akhir tahun nanti.
“Sehingga bank umum syariah akan lahir satu lagi, bank BUKU [Kelompok Usaha Berdasarkan Modal Inti/KBMI] 2. Jadi, nanti negara ini punya satu bank BUKU 3 dan dua bank BUKU 2 untuk bank umum syariah,” tegasnya.
Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan bahwa penyapihan UUS BTN menjadi bank umum syariah diharapkan dapat memperkuat struktur industri perbankan syariah menjadi semakin baik dan semakin kuat.
Menurut Dian, langkah manajemen BTN ini sejalan dengan OJK yang juga mendorong terjadinya konsolidasi lain di perbankan syariah, terutama melalui aksi korporasi berupa spin-off, merger, ataupun akuisisi.
“Diharapkan BTN Syariah dapat menjadi BUS dengan skala usaha yang diproyeksikan dapat tumbuh menjadi BUS besar yang bergerak di segmen pembiayaan perumahan,” jelas Dian baru-baru ini.
Adapun, hingga kini BSI masih mendominasi industri perbankan syariah dalam negeri. Dari sisi aset, pembiayaan, hingga dana pihak ketiga, BRIS mencatatkan pangsa pasar atau market share lebih dari 40% per Januari 2025.
Secara rinci, dari sisi aset BSI mencatatkan kenaikan pada awal tahun ini, yaitu menjadi 44,25% dari 42,77% pada akhir 2024. Sementara, market share pembiayaan BSI terhadap perbankan syariah sebesar 45,44% dari 44,45%, dan dana pihak ketiga (DPK) meningkat dari 44,59% dari 44,91%,
Pada posisi Maret 2025, asset BRIS tercatat senilai Rp401 triliun, dengan pembiayaan Rp287,2 triliun dan himpunan DPK senilai Rp319 triliun.