Bisnis.com, JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 10 November 2023 menerbitkan surat edaran SEOJK Nomor 19/SEOJK.05/2023 yang mengatur mengenai besaran bunga fintech peer to peer lending menjadi maksimum 0,3% per hari efektif mulai dari 1 Januari 2024. Hal ini tentunya disambut baik oleh kebanyakan masyarakat, dalam artian beban yang terjadi untuk pinjaman yang disalurkan akan lebih ringan dan diharapkan layanan ini bisa menjadi solusi keuangan masyarakat.
Perubahan ketentuan ini mengharuskan pelaku usaha / platform peer to peer lending meninjau ulang perhitungan biaya-biaya agar mampu sejalan dengan ketentuan OJK. Penyesuaian perlu dilakukan tidak hanya soal menurunkan bunga namun perlu mempertimbangkan dampak keberlanjutan di waktu mendatang. Bernardino M Vega Jr selaku Direktur Utama Adakami menyikapi perubahan ini, “Kami akan lebih ketat ya, cost akan lebih rendah kita pangkas biaya-biaya yang enggak perlu seperti promosi kita kurangi. Harus lebih jeli ya menyikapi penuruan bunga ini yang pasti cost structure kita sesuaikan. Underwriting process kita bikin semakin efisien, kemudian dari sisi prudency juga kita tingkatkan makanya ada komisaris independen juga."
Kabar baik ini tentunya menimbulkan tantangan industri, dimana nilai wanprestasi / TWP 90 tetap perlu dijaga agar kualitas kredit yang disalurkan masih tergolong sehat dan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi negara. Pasalnya OJK menyebutkan kredit macet peer to peer lending per Oktober 2023 meningkat menjadi 2,89% dari September 2023 di 2,82%. OJK sendiri menetapkan batas maksimum 5% kredit macet yang dapat ditolerir dari sebuah platform peer to peer lending. Apakah kebijakan baru penurunan bunga ini mampu memperbaiki kondisi kredit macet peer to peer lending di Indonesia? Kesadaran masyarakat masih menjadi kunci kesuksesan kebijakan baru ini.
Government Relation Head Adakami, Anna Urbinas menuturkan “Masyarakat umum dan nasabah perlu paham konsekuensi akibat kredit macet yang dilakukan baik secara sengaja maupun tidak. Penurunan bunga pinjaman mendorong industri untuk menyaring secara lebih ketat profil resiko nasabah, dalam artian nasabah dengan profil resiko yang lebih tinggi akan lebih kecil kemungkinannya untuk dapat dilayani oleh industri peer to peer lending”. Anna sendiri mengingatkan nasabah untuk berhitung dengan lebih presisi dalam melakukan pinjaman agar dapat melunasi tempat waktu dan menghindari keterlambatan bahkan jika hanya terlambat 1 hari.
Seringkali nasabah dengan tunggakan kredit berkomentar “baru terlambat 4 hari kok ditagih kayak terlambat 2 bulan” atau dengan ujaran sejenisnya. “Pola pikir seperti ini yang menjadi concern utama AdaKami dalam melakukan edukasi. Nasabah perlu tau bahwa setiap transaksi yang terjadi di AdaKami, wajib dilaporkan ke SLIK OJK, jadi OJK tau siapa saja nasabah yang memiliki keterlambatan sejak hari pertama,” sebut Anna. Belakangan ini kita menemukan berita-berita viral mengenai generasi muda yang gagal mendapatkan pekerjaan karena riwayat tunggakan kredit menjadi penghalang karir. Dampak wanprestasi sudah bisa kita lihat secara langsung.
Anna menambahkan pihaknya kini bekerjasama dengan 4 perbankan nasional sebagai pemberi pinjaman, dimana setiap transaksi ini akan dilaporkan oleh pihak perbankan ke OJK dan Bank Indonesia dengan demikian riwayat pinjaman di AdaKami akan mempengaruhi penilaian SLIK BI / BI Checking. SLIK BI / BI Checking sendiri menjadi kepedulian masyarakat terutama dalam menerima penyaluran kredit dari institusi keuangan konvensional seperti perbankan dan multifinance. Histori buruk pada SLIK BI tentunya akan mempengaruhi akses pendanaan masyarakat di waktu mendatang.
AdaKami sendiri memiliki kewajiban penagihan selama 90 hari sejak tanggal jatuh tempo, sebagai bentuk mitigasi resiko dan bukti pertanggungjawaban terhadap pemilik dana. Polemik debt collector yang berguling memang diawali dari populasi kredit macet yang perlu menjadi nilai merah bagi industri. AdaKami meyakini jika masyarakat memiliki pemahaman dan kesadaran yang baik tentang mengatur keuangan, bersama-sama kita bisa mewujudkan ekosistem keuangan yang sehat dan yang bertahan.