Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Prospek Perbankan Usai BI Kembali Tahan Suku Bunga Acuan 6%

Simak prospek perbankan di Indonesia saat BI kembali tahan suku bunga acuan (BI Rate) 6%.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (tengah) didampingi Deputi Gubernur Senior Destry Damayanti (kanan) dan Deputi Gubernur Doni P. Joewono (kedua kiri) memberikan keterangan saat konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur di Jakarta, Rabu (21/2/2024). Bisnis/Arief Hermawan P
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (tengah) didampingi Deputi Gubernur Senior Destry Damayanti (kanan) dan Deputi Gubernur Doni P. Joewono (kedua kiri) memberikan keterangan saat konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur di Jakarta, Rabu (21/2/2024). Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA -- Prospek perbankan RI dinilai masih positif usai Bank Indonesia menahan suku bunga acuan atau BI rate di level 6% pada RDG BI periode 20-21 Februari 2024. Dengan demikian, BI rate 6% ditahan selama lima kali berturut-turut. 

Perbankan RI tetap kokoh meski adanya serangan dari berbagai arah, mulai dari pertumbuhan ekonomi dunia di tengah ketidakpastian global hingga suku bunga acuan Federal Reserve (The Fed) yang masih meninggi sampai pertengahan 2024.

Senior Vice President Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan mengatakan prospek perbankan Tanah Air sebenarnya bagus. Akan tetapi, dirinya memprediksi pertumbuhan ini bisa di bawah capaian tahun 2023, terutama bila melihat kondisi ekonomi global yang terancam resesi.

“[Pertumbuhan ini meliputi] kredit, aset, dan laba,” ujarnya pada Bisnis, Kamis (22/2/2024)

Dia menyebut selain faktor bunga, ada sederet faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dalam hal kinerja perbankan. Mulai dari kondisi ekonomi, daya beli hingga pertumbuhan pendapatan masyarakat. 

Di sisi lain, Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta menurutkan bila resesi global terjadi, maka perekonomian Tanah Air akan terjadi penyesuaian.

Meski begitu, dia menyebut sejauh ini kondisi domestik masih terus resilien, bahkan perbankan dalam melakukan mitigasi risikonya sangatlah baik

“Ini tercermin bagaimana perbankan masih maintain rasio kredit bermasalah [nonperforming loan/NPL] di kisaran 3%. Pertumbuhan kredit terjaga di level dua digit,” ujarnya pada Bisnis, Kamis (22/2/2024).

Perbankan Optimistis

Lebih lanjut, dia menilai saat ini kredit consumer masih menjadi salah satu penopang motor penggerak ekonomi Indonesia. 

Hal ini pun dikonfirmasi oleh sederet pemain bank besar Tanah Air. Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) Jahja Setiaatmadja mengatakan pertumbuhan kredit hingga 11% pada tahun ini  mampu dicapai dengan kondisi likuiditas yang memadai. 

“BI Rate sesuai prediksi sampai dengan Juni 2024 paling tidak akan bertahan dulu,” ujarnya pada Bisnis, Kamis (22/2/2024).

Sementara itu, Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI)  Royke Tumilaar  juga nyatanya cukup optimistis soal target yang dipasang Otoritas Jasa Keuangan, di mana kredit dibidik mampu mencapai 9%-11% serta didukung oleh Dana Pihak Ketiga (DPK) tumbuh 6%-8% pada 2024

“Kondisinya tadi Pak Presiden bilang kalau kondisi normal-normal dan ekonomi oke, maka enggak ada issue [target] It’s fine. Tapi, kita tetap waspada juga terhadap kondisi geopolitik saat ini,” ujarnya pada Bisnis usai agenda Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan (PTIJK), Selasa (20/2/2024).

Sikap optimistis itu, juga menular pada PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. (BBTN). Direktur Risk Management Bank BTN Setiyo Wibowo menyebut walau BI masih terus mempertahankan suku bunga di level 6% akan tetapi hal tersebut tidak mempengaruhi kinerja BTN

“Kalau liat pertumbuhan kredit kan masih baik, bahkan industri tumbuh 11,8% kan. So, kami malah lebih optimis pertumbuhan tahun ini bisa lebih baik atau setidaknya sama dengan tahun lalu,” ujarnya pada Bisnis, Kamis (22/2/2024)

Sebagaimana diketahui, BTN memang menargetkan penyaluran kredit sebesar 11%—12% dan DPK tumbuh 9% sampai 10% pada 2024.

Sebelumnya, Direktur Utama BTN Nixon L.P. Napitupulu membenarkan bahwa target kredit tahun ini relatif tidak meningkat dari realisasi 2023, yaitu sebesar 11,9%. Penyebabnya bukan karena masalah pada penyaluran kredit, melainkan kondisi likuiditas ketat di pasar.  

Sebagaimana diketahui, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) industri perbankan secara nasional hanya 3,8%. BTN sendiri berhasil meraup DPK senilai Rp349,93 triliun pada 2023, tumbuh 8,7% yoy dari sebelumnya Rp321,94 triliun. 

"[Target dipasang] karena pertimbangan DPK-nya yang persaingannya masih ketat. Tapi kalau kami lihat funding position-nya baik, kami akan dorong revisi naik di kredit," ujar Nixon dalam Paparan Kinerja BTN 2023, dikutip pada Senin (19/2/2024). 

Di sisi lain, Direktur Distribution & Funding BTN Jasmin juga menjelaskan target kredit yang tidak meningkat tahun ini karena BTN ingin menjaga rasio pinjaman terhadap simpanan atau loan to deposit ratio (LDR). Jasmin mengatakan pihaknya ingin menurunkan LDR di bawah level 90%. 

Lebih lanjut, dirinya menyebut ada sejumlah upaya untuk mendorong pertumbuhan DPK. Di antaranya, dengan membuka segmen baru yakni divisi medium atau korporasi di segmen menengah.  

"Ini guna mengurangi ketergantungan terhadap DPK penyangga yang berasal dari korporasi besar," ujarnya. 

Selanjutnya, kata Jasmin, untuk bisa menumbuhkan DPK pihaknya bakal mengembangkan sektor baru di prioritas yakni sektor private banking untuk nasabah dengan simpanan di atas Rp10 miliar dan private banking untuk nasabah dengan simpanan Rp100 hingga Rp500 juta. 

Tak hanya itu, BTN juga meningkatkan produktivitas kantor cabang pembantu yang sebanyak 541, dengan melengkapi dengan produk pendanaan. 

Jasmin mengatakan tahun ini BTN membidik komposisi dana murah atau current account saving account (CASA) sebesar 53% hingga 55%. Fokusnya pada tahun ini adalah CASA yang berbasis transaksi retail. 

"Fokusnya retail bagaimana komposisi 22% bisa kita tingkatkan paling engga menjadi 35% [dari DPK]. Karena kalo bedanya retail dan wholesale itu, cost of fund sekitar 1,5% sampai 2%. Kalau kita bisa menghemat Rp10 triliun itu, bisa menurunkan cost of fund paling enggak Rp200 miliar," pungkasnya.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper