Bisnis.com, JAKARTA — Ombudsman RI turut memberikan beberapa catatan untuk Pemerintah terkait dengan penerapan fasilitas ruang perawatan Rumah Sakit (RS) kelas rawat inap standar (KRIS) dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh BPJS Kesehatan.
Penetapan tersebut berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2028 tentang JKN yang mana diterapkan paling lambat pada 30 Juni 2025.
Ombudsman meminta pemerintah untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan dan mutu fasilitas dasar dan Sumber Daya Kesehatan (SDMK) RS, tersusunnya skema kebijakan pembayaran iuran yang berkeadilan, serta dirumuskannya standar ruang perawatan dan standar layanan pada kelas yang paling optimal.
Pimpinan Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng menyebut disparitas layanan RS selama ini menjadi penyebab utama maladministrasi pelayanan kesehatan.
KRIS diharapkan membawa semangat baru terurainya disparitas layanan kesehatan di RS. Serta mentransformasikan pelayanan kesehatan menuju pelayanan kesehatan yang adil dan setara, sesuai dengan amanat konstitusi.
Adapun beberapa catatan yang perlu diperhatikan beberapa di antaranya. Pertama, pemerintah wajib memastikan fasilitas dasar RS sudah terpenuhi sebagai prasyarat pemberlakuan KRIS.
Baca Juga
“Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan, maupun pemda wajib mengaudit secara menyeluruh pemenuhan fasilitas RS KRIS hanya dapat terselenggara dengan baik jika fasilitas primer dari rumah sakit sudah tersedia,” kata Robert dalam keterangannya dikutip Selasa (28/5/2024).
Kedua, Ombudsman RI meminta pemerintah memastikan kuantitas maupun kualitas SDMK di RS. Menurut Robert, pemerintah saat ini terkesan hanya berfokus kepada peningkatan kualitas infrastruktur kesehatan, tetapi cenderung abai terhadap upaya peningkatan kapasitas tenaga kesehatan.
“Kami melihat, hilirisasi SDMK menjadi kunci bagi upaya optimalisasi kelas layanan yang terstandarisasi. Temuan di beberapa daerah, sebagai contoh, fasilitas Cath Lab jantung sudah tersedia di rumah sakit namun dokter spesialisnya yang tidak ada. Kami meminta Kemenkes memberikan fokus khusus terhadap ketersediaan SDMK ini,” imbuh Robert.
Ketiga, pemerintah perlu menetapkan skema pembayaran iuran yang berkeadilan. Menurut Robert penetapan iuran baru mesti didahului sosialisasi dan konsultasi publik.
“Hal ini krusial guna mengantisipasi adanya isu out of pocket ataupun peserta JKN yang beralih menjadi peserta non-aktif,” tegas Robert.
Selain itu, rencana pemberlakuan iuran baru tersebut mesti meresonansi pada kesadaran pengelola rumah sakit untuk membenahi tata kelola layanan mereka.
“Besaran iuran peserta bergantung hasil evaluasi yang dilakukan selama penerapan KRIS di tahap awal. Ombudsman Pusat dan Kantor-Kantor Perwakilan di 34 Provinsi proaktif memantau dan mengawasi sejauh mana RS mitra BPJS memanfaatkan fase transisi ke depan untuk sungguh berbenah,” tegas Robert.
Keempat, KRIS harus menghadirkan tingkatan lanjut bagi perbaikan layanan kesehatan masyarakat. Menurutnya pemberlakuan standar tersebut tidak boleh sebatas standar ruang perawatan tetapi lebih-lebih lagi standar layanan medis dan bahkan non-medis.
Keadilan akses yang menjadi inti semangat dari standarisasi tersebut tidak boleh berarti kesetaraan untuk memperoleh layanan yang buruk, tetapi kesetaraan dalam menikmati hak dan jaminan layanan kesehatan yang prima.
“KRIS tidak boleh malah menarik mundur mutu saat ini dan menurunkan standar layanan, tidak boleh adil tetapi adil dalam keburukan. Pada tingkat minimum, setiap warga dan daerah memiliki standar minimum tertentu dalam pemenuhan layanan. Keadilan sosial antar-warga dan keadilan regional antar-wilayah menjadi narasi besar yang menjadi semangat di balik pemberlakuan KRIS sebagaimana ditetapkan Perpres Nomor 59/2024 tentang Jaminan Kesehatan,” pungkas Robert.