Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Surplus Neraca Perdagangan 50 Bulan Beruntun, Apa Dampaknya pada Nilai Tukar Rupiah?

Tren surplus neraca perdagangan Indonesia selama 50 bulan berturut-turut per Juni 2024 diperkirakan memberikan dampak positif terhadap nilai tukar rupiah.
Ilustrasi kapal mengangkut kontainer untuk diekspor ke luar neger. JIBI/Rifki
Ilustrasi kapal mengangkut kontainer untuk diekspor ke luar neger. JIBI/Rifki

Bisnis.com, JAKARTA – Tren surplus neraca perdagangan Indonesia yang berlanjut selama 50 bulan berturut-turut hingga Juni 2024 diperkirakan akan memberikan dampak positif terhadap stabilitas nilai tukar rupiah.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat surplus neraca perdagangan Indonesia pada Juni 2024 sebesar US$2,39 miliar. Meskipun surplus ini lebih rendah dibandingkan dengan Mei 2024 yang mencapai US$2,92 miliar, Ekonom Bank Danamon Indonesia Hosianna Evalita Situmorang tetap optimis.

"Surplus neraca perdagangan yang berlanjut hingga Juni 2024 diperkirakan akan berdampak positif terhadap stabilitas nilai tukar rupiah," ujar Hosianna pada Senin (15/7/2024).

Namun, Hosianna juga memperingatkan bahwa surplus neraca perdagangan yang menyusut ini berpotensi mendorong pelebaran defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD). "Kami mengantisipasi pelebaran defisit neraca transaksi berjalan seiring dengan menurunnya surplus neraca perdagangan, terutama karena melemahnya permintaan global terhadap produk ekspor," jelasnya.

Pada Juni 2024, nilai ekspor Indonesia tercatat sebesar US$20,84 miliar, turun 6,65% secara bulanan. Penurunan ini terutama disebabkan oleh penurunan nilai ekspor di sektor minyak dan gas serta sektor non-migas. Faktor yang mempengaruhi penurunan ini termasuk pelemahan aktivitas ekonomi global, yang terlihat dari kontraksi impor China sebesar 2,3% secara tahunan, serta penurunan ekspor komoditas sektor pertambangan sebesar 25,1% secara bulanan.

Di sisi lain, nilai impor pada Juni 2024 tercatat sebesar US$18,45 miliar, turun 4,89% secara bulanan namun tumbuh 7,58% secara tahunan. Penurunan impor terutama disebabkan oleh penurunan impor non-migas, sejalan dengan normalisasi konsumsi domestik dan kinerja produktivitas. Namun, nilai impor migas meningkat karena kenaikan impor bahan bakar minyak dan produk minyak olahan seiring dengan kenaikan harga minyak global.

"Penurunan impor non-migas sejalan dengan normalisasi konsumsi domestik dan kinerja produktivitas, sementara impor migas meningkat akibat kenaikan harga minyak global," tambah Hosianna.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Maria Elena
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper