Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Sederet Masalah BPJS Kesehatan: Tagihan Fiktif hingga Asuransi Swasta Mundur dari Kerja Sama

KPK mengungkap temuan fraud tagihan fiktif BPJS Kesehatan, di sisi lain sejumlah asuransi swasta memutuskan mundur dari kerja sama.
Dany Saputra,Pernita Hestin Untari
Kamis, 25 Juli 2024 | 08:30
Karyawan melayani peserta di salah satu kantor cabang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di Jakarta, Selasa (12/7/2022). Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Karyawan melayani peserta di salah satu kantor cabang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di Jakarta, Selasa (12/7/2022). Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA - Sejumlah permasalahan sedang mendera BPJS Kesehatan saat ini, seperti dugaan fraud tagihan fiktif dan mundurnya beberapa asuransi swasta dari kerja sama.

Dugaan fraud tagihan fiktif di BPJS Kesehatan diungkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu (24/7/2024). Indikasi kerugian negara sekitar Rp35 miliar.

Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan menjelaskan tim gabungan menemukan dugaan sejumlah pihak yang mengajukan klaim fiktif atas JKN. Tim gabungan yang dimaksud terdiri dari KPK, Kementerian Kesehatan (Kemenkes), BPJS Kesehatan serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Dari hasil audit yang dilakukan terhadap sampel klaim BPJS pada sebanyak enam rumah sakit di tiga provinsi, ada tiga rumah sakit di Jawa Tengah dan Sumatra Utara yang terindikasi melakukan fraud atas klaim JKN.

Oknum di ketiga rumah sakit itu diduga menggunakan modus phantom billing atau merekayasa seluruh dokumen pendukung klaim JKN. Meski demikian, KPK menduga ada berbagai modus lain yang digunakan oleh para oknum untuk melakukan fraud serupa di tempat lain.

"Hasil dari audit atas klaim yang dilakukan BPJS ini yang kita angkat ke tim ini, ada tiga rumah sakit gitu, yang phantom billing saja. Tiga ini melakukan phantom billing artinya mereka merekayasa semua dokumen," jelas Pahala di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (24/7/2024).

Satu rumah sakit di Jawa Tengah terindikasi memiliki klaim fiktif atas pembayaran JKN terbesar, di kisaran Rp20 miliar sampai dengan Rp30 miliar. Kemudian, satu rumah sakit di Sumatra Utara terindikasi fraud Rp1 miliar hingga Rp3 miliar, serta satu rumah sakit lainnya Rp4 miliar sampai dengan Rp10 miliar.

Temuan itu, terang Pahala, didapatkan dari audit atas klaim dari BPJS Kesehatan. Atas temuan itu, KPK, Kemenkes serta BPJS melakukan pengumpulan bahan keterangan (pulbaket) ke lapangan. Hasil pulbaket itu lalu diakui Pahala telah dipaparkan ke pimpinan KPK.

Dugaan fraud di tiga rumah sakit itu lalu disepakati naik ke penindakan alias bakal diselidiki dugaan korupsinya. Dia menyebut sudah ada indikasi dugaan korupsi pada praktik fraud di tiga rumah sakit tersebut.

"Hasilnya pimpinan memutuskan kalau yang tiga ini dipindahkan ke penindakan, nanti urusan siapa yang ambil apakah kejaksaan yang lidik [menyelidiki] atau KPK itu nanti diurus sama pimpinan KPK," kata Pahala.

Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, menyatakan fraud klaim palsu ini menjadi beban bagi pembiayaan JKN. Jika tidak diatasi, BPJS Kesehatan bisa mengalami defisit. Timboel menilai fraud klaim palsu terjadi karena kesenjangan pengawasan dan kurangnya komunikasi langsung antara BPJS Kesehatan dengan pasien.

"Misalnya ada phantom billing, di mana tidak ada pasien tetapi bisa diklaim. Kalau BPJS bisa berkomunikasi dengan pasien, kejadian ini tidak mungkin terjadi," kata Timboel.

Selain berdampak pada keuangan BPJS Kesehatan, fraud tersebut juga merugikan pasien. Timboel mencontohkan bahwa pernah ada pasien yang meninggal dunia karena dugaan fraud. "Pernah ada berita di koran, ada pasien yang disuruh pulang meski belum layak, dan dia meninggal di rumah. Itu dampak kepada peserta," ujarnya.

Kerja Sama dengan Asuransi Swasta

Di sisi lain, sejumlah asuransi swasta yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan memutuskan untuk mundur. Kerja sama tersebut dimungkinkan dengan skema Coordination of Benefit (CoB) atau koordinasi manfaat, yakni peserta BPJS Kesehatan dapat menggunakan fasilitas tambahan yang disediakan oleh perusahaan asuransi swasta.

Kerja sama ditempuh untuk menghindari tumpang tindih antara masyarakat yang wajib menjadi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tetapi sudah memiliki asuransi komersial.

Kerja sama itu sebenarnya menjadi simbiosis mutualisme, karena BPJS Kesehatan dan asuransi swasta sama-sama memiliki peserta atau pemegang polis, lalu masyarakat bisa mendapatkan perlindungan yang lebih holistik.

Namun demikian, kerja sama tersebut belum berjalan dengan maksimal. Tidak sedikit perusahaan asuransi swasta yang memilih untuk mundur dari kerja sama tersebut.

Salah satunya yaitu PT PertaLife Insurance, yang sejak 2022 tidak lagi menjalin kerja sama dengan BPJS Kesehatan menggunakan skema CoB. Kabar tersebut dikonfirmasi oleh pihak PertaLife.

Kemudian, PT BNI Life Insurance menyatakan kerja sama CoB antara perusahaan dan BPJS Kesehatan tidak berlanjut semenjak Adendum Perjanjian Kerjasama serta belum jelasnya skema koordinasi manfaat itu.

"Saat ini BNI Life tidak memiliki kerja sama lebih lanjut terkait CoB dengan BPJS Kesehatan, tetapi jika nasabah asuransi kesehatan kumpulan BNI Life dirawat inap dengan menggunakan BPJS Kesehatan, maka BNI Life akan memberikan santunan harian kepada nasabah tersebut sesuai dengan ketentuan produk yang berlaku," tutur GM Corsec, Legal and Corcomm BNI Life Arry Herwindo W. kepada Bisnis, Minggu (21/7/2024).

Menurut Arry, BNI Life sejatinya mengakui CoB dengan BPJS Kesehatan merupakan pasar yang potensial, mengingat program JKN wajib diikuti oleh pekerja ataupun semua lapisan masyarakat.

Namun demikian, lanjut Arry, untuk dapat menggarap pasar potensial ini perlu disiapkan aturan main yang lebih baik dan infrastruktur dengan rumah sakit dan pihak terkait lainnya.

"Penerapan tarif maksimum oleh RS [rumah sakit] merupakan salah satu solusi untuk dapat mengurangi risiko over utilisasi di rumah sakit," katanya.

Di sisi lain, Humas BPJS Kesehatan Rizzky Anugerah mengungkap bahwa peluang kerja sama dengan asuransi swasta sudah dibuka dan diatur sejak lama, tidak hanya terkait dengan pemberlakuan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).

"Kerja sama pemerintah dan swasta sudah diatur dalam Undang-Undang No. 40/2004 dan Perpres 82/2018. Sudah diberikan kesempatan dari lama. Di Permenkes Nomor 3/2023 juga sudah disebutkan, tinggal diperjelas saja mekanismenya," kata Rizzky kepada Bisnis, Minggu (21/7/2024).

Rizzky menjelaskan bahwa perusahaan asuransi swasta dapat mengembangkan produk asuransi untuk menjamin pelayanan kesehatan di luar manfaat yang dijamin Program JKN.

Di samping itu, asuransi swasta dapat menciptakan produk yang memungkinkan pasien Program JKN untuk naik kelas ruang rawat inap di atas haknya. Meski begitu, lanjut dia mekanisme kerja sama dengan perusahaan asuransi swasta harus dirancang dengan jelas.

"Harus ada bentuk kerja sama yang pas dan dibuat regulasi yang sedemikian rupa agar tidak mengganggu tatanan yang sudah ada saat ini," katanya.

Halaman
  1. 1
  2. 2

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper