Bisnis.com, JAKARTA – Cadangan devisa Indonesia diperkirakan akan terjaga di atas US$145 miliar hingga US$155 miliar pada akhir 2024, di tengah kekhawatiran akan kondisi ekonomi dan geopolitik global.
Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) David E. Sumual memprediksikan cadangan devisa masih akan stabil meski berbagai tantangan mengadang, seperti tensi geopolitik di Timur Tengah yang meningkat, wait and see data ekonomi AS, stimulus jumbo China, hingga jatuh tempo utang pemerintah.
“Dalam jangka pendek cadangan devisa masih relatif stabil US$146 miliar hingga US$152 miliar [pada akhir 2024],” ujarnya kepada Bisnis, Senin (7/10/2024).
Untuk diketahui, cadangan devisa adalah aset yang dimiliki oleh bank sentral atau otoritas moneter untuk memenuhi kewajiban keuangan karena adanya transaksi internasional. Cadangan devisa dapat terdiri dari berbagai mata uang asing seperti dolar AS, euro, poundsterling, yen Jepang, dan sebagainya.
Tujuannya, mendukung kebijakan moneter yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari langkah menjaga nilai tukar. Selain itu, juga untuk membantu pemerintah untuk pembayaran utang luar negeri secara tepat waktu dan membiayai impor untuk menunjang kegiatan ekonomi di dalam negeri.
Baca Juga
Per September 2024, cadangan devisa tercatat turun tipis dari US$150,2 miliar (Agustus 2024) ke US$149,9 miliar akibat pembayaran utang luar negeri pemerintah.
Sementara itu, Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. Josua Pardede menyebutkan dalam perkembangan terkini kondisi ekonomi global, Indonesia masih dapat memupuk cadangan devisa hingga US$155 miliar pada akhir tahun.
“Mengingat perkembangan terkini dalam kondisi ekonomi dan pasar keuangan global, kami memproyeksikan cadangan devisa akan berkisar antara US$145 miliar – US$155 miliar pada akhir tahun 2024,” ujarnya.
Bila benar cadangan devisa dapat terus stabil di atas US$150 miliar ke depannya, artinya posisi aset milik bank sentral tersebut akan lebih tinggi dari penutupan 2023 yang berada di angka US$146,4 miliar.
Sejalan dengan hal tersebut, Josua memproyeksikan rupiah akan berada pada kisaran Rp15.300 - 15.600 per dolar AS pada akhir2024, berpotensi lebih lemah dari posisi akhir 2023 yang senilai Rp15.397 per dolar AS.
Pemerintah sendiri mengasumsikan nilai tukar rupiah dalam APBN 2024 di angka Rp15.000 per dolar AS. Sementara pada hari ini saja, rupiah ditutup anjlok 201,5 poin atau 1,3% ke Rp15.686,50 per dolar AS.
Dia menuturkan, pihaknya menghitung bahwa Indonesia mencatat arus modal masuk bersih senilai US$2,76 miliar di pasar saham dan obligasi di sepanjang bulan September 2024, di mana kepemilikan investor asing pada SBN meningkat US$1,34 miliar sementara investor asing membukukan net buy sebesar US$1,42 miliar di pasar saham.
Meski demikian, investor yang menempatkan dananya di Sekuritas Rupiah BI (SRBI) melaporkan arus keluar bersih sebesar US$3,47 miliar pada periode yang sama. Selain itu, pemerintah pada bulan menerbitkan obligasi global dalam dua mata uang yang terdaftar di SEC, masing-masing sebesar US$1,8 miliar dan EUR750 juta.
Tantangan akan posisi cadangan devisa muncul dari sentimen risk-on yang didorong oleh ekspektasi penurunan suku bunga acuan The Fed di sisa tahun ini yang mulai berkurang seiring dengan meningkatnya ketegangan geopolitik di Timur Tengah. Di sisi lain, pasar tenaga kerja Amerika Serikat yang membukukan data yang kuat, sehingga memberikan tekanan pada cadangan devisa dan stabilitas rupiah.
Sementara sentimen risk-off yang kemungkinan akan meningkat, sejalan dengam meningkatnya ketegangan geopolitik di Timur Tengah, terutama antara Israel dan Iran, dapat mengerek permintaan untuk aset-aset yang aman dan memicu arus keluar modal dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.
Nahasnya, jika kondisi ini terus berlanjut, Josua memperkirakan Bank Indonesia akan mengucurkan cadangan devisanya untuk mengintervensi pasar valas dan menstabilkan nilai tukar rupiah, sehingga berpotensi mengurangi cadangan devisa pada akhir tahun dan mengarah ke batas bawah prediksinya.