Bisnis.com, JAKARTA — Perusahaan pembiayaan PT Clipan Finance Indonesia Tbk. (CFIN) mencatatkan laba sebesar Rp217 miliar (unaudited) pada 2024.
Angka tersebut mengalami penurunan sekitar 275% secara tahunan (year-on-year/yoy) dibandingkan dengan laba tahun sebelumnya yang mencapai Rp815 miliar pada 2023. Padahal, pada 2023 laba perusahaan mengalami peningkatan sebesar 162,29% dibandingkan 2022 yang hanya mencapai Rp310,72 miliar.
Direktur Utama Clipan Finance Harjanto Tjitohardjojo mengatakan bahwa perusahaan menghadapi berbagai tantangan dalam kinerja keuangan hingga akhir 2024. Dia mengungkapkan bahwa faktor-faktor seperti fluktuasi harga komoditas dan kondisi ekonomi makro turut mempengaruhi kinerja perusahaan.
“Selain itu, faktor lain yang berkontribusi adalah menurunnya kualitas calon debitur, yang tercermin dari catatan kolektibilitas SLIK [Sistem Layanan Informasi Keuangan]. Hal ini diduga dipengaruhi oleh meningkatnya pinjaman online,” kata Harjanto kepada Bisnis pada Jumat (7/2/2025).
Harjanto menambahkan bahwa tantangan lainnya adalah meningkatnya praktik over-alih kendaraan oleh sejumlah oknum kepada pihak lain yang tidak berkepentingan. Hal ini menyebabkan perusahaan menerapkan mitigasi risiko yang lebih ketat dalam menyalurkan pembiayaan.
Selain itu, daya beli masyarakat kelas menengah yang melemah, ditambah dengan kenaikan harga kendaraan akibat pemberlakuan opsen pajak, juga menjadi faktor utama yang mempengaruhi kinerja perusahaan.
Meskipun menghadapi berbagai tantangan, Clipan Finance tetap berupaya meningkatkan laba pada tahun ini. Harjanto mengungkapkan bahwa perusahaan telah menyiapkan beberapa strategi untuk mencapai tujuan tersebut.
Saat ini, perusahaan sedang mengoptimalkan produktivitas di setiap jaringan pemasaran cabang guna meningkatkan produksi dan mengefektifkan biaya operasional.
Selain itu, perusahaan juga berupaya menjaga tingkat suku bunga yang kompetitif, meningkatkan kualitas layanan kepada debitur, serta menata ulang beberapa proses bisnis agar lebih efektif dan efisien.
“Perusahaan juga memastikan penguatan manajemen risiko guna menghasilkan portofolio bisnis yang sehat,” tambah Harjanto.
Penurunan laba yang dialami Clipan Finance sejalan dengan tren penurunan laba di industri multifinance pada Oktober 2024. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa laba bersih setelah pajak perusahaan multifinance turun sebesar 3,53% yoy menjadi Rp18,72 triliun per Oktober 2024.
Pada periode yang sama tahun sebelumnya, laba bersih perusahaan multifinance tercatat sebesar Rp19,41 triliun. Penurunan ini disebabkan oleh meningkatnya beban perusahaan yang mencapai Rp90,18 triliun.
Beban perusahaan multifinance mengalami kenaikan 17,27% yoy dari Rp76,9 triliun pada tahun sebelumnya. Kenaikan terbesar terjadi pada beban operasional, yang melonjak menjadi Rp89,11 triliun—naik 16,77% yoy dari Rp76,25 triliun per Oktober 2023.
Di sisi lain, Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) memproyeksikan pertumbuhan penyaluran piutang hanya berada di kisaran 7–8% pada tahun ini.
Ketua Umum APPI Suwandi Wiratno menyatakan bahwa proyeksi ini mempertimbangkan kondisi pasar kendaraan yang masih lesu serta penyesuaian industri terhadap regulasi baru. Suwandi menilai bahwa pemulihan pasar kendaraan belum akan terjadi dalam waktu dekat.
“Kalau kita bicara Gaikindo [Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia], tahun lalu penjualan mobil bahkan tidak mencapai 900 ribu unit, hanya 865.723 unit, sementara motor mencapai 6,33 juta unit. Artinya, tahun ini pun masih berada dalam kondisi yang serupa,” ujar Suwandi dalam Seminar Nasional Arah Kebijakan OJK 2025 dan Strategi Pertumbuhan Ekonomi Pemerintah Baru yang digelar APPI pada Selasa (4/1/2025).
Gaikindo sendiri menargetkan penjualan mobil sebanyak 900.000 unit pada tahun ini. Namun, menurut Suwandi, target tersebut masih menghadapi berbagai tantangan, salah satunya adalah kebijakan opsen pajak yang mulai berlaku.
Meskipun terdapat beberapa insentif yang diberikan, implementasi kebijakan ini berbeda-beda di tiap daerah, yang dapat berdampak pada daya beli masyarakat.
“Saya melihat bahwa setiap daerah memiliki kebijakan yang berbeda. Ada yang berlaku hingga Desember, ada yang hanya sampai Maret. Kita akan lihat bagaimana perkembangannya nanti,” jelasnya.
Selain faktor pasar, Suwandi menegaskan bahwa industri pembiayaan juga tengah beradaptasi dengan berbagai regulasi yang semakin ketat.
Oleh karena itu, APPI tidak menetapkan proyeksi pertumbuhan yang terlalu tinggi. Menurutnya, penguatan aturan ini membutuhkan persiapan yang matang, termasuk dalam penyusunan dan implementasi standar operasional prosedur (SOP).
Lebih lanjut, dia juga menyoroti tantangan likuiditas yang tengah dihadapi perbankan saat ini. Suwandi berharap agar Bank Indonesia (BI) dapat memberikan dukungan untuk memastikan ketersediaan likuiditas yang cukup bagi industri pembiayaan.
“Harapan kami, dengan adanya dukungan dari BI untuk menggelontorkan likuiditas ke perbankan, diharapkan sinergi antara kebijakan dan bisnis dapat terjalin secara harmonis,” pungkasnya.