Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom menilai kebijakan BI Rate sulit ditebak karena adanya ketidakpastian akan pertimbangan apa yang harus dilihat oleh pasar ketika memperkirakan prospek suku bunga acuan ke depan usai ditahan 5,75%.
Bertahannya BI Rate berlawanan dengan ekspektasi Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro yang melilhat ada peluang untuk penurunan suku bunga karena sebagian besar indikator makro global—mulai dari imbal hasil UST hingga dolar.
Peluang penurunan pada Februari ini padahal dinilai lebih baik, karena berada dalam kondisi yang lebih stabil dibandingkan dengan Januari 2025, ketika BI mengejutkan pasar dengan penurunan suku bunga sebesar 25 bps yang dilakukan ketika tekanan terhadap rupiah meningkat.
“BI memangkas suku bunga ketika rupiah berada di bawah tekanan pada bulan Januari, tetapi menahan diri untuk tidak melakukannya ketika pasar relatif tenang pada bulan Februari,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis (20/2/2025).
Lantas, Satria melihat dalam hasil RDG dua bulan awal 2025 ini telah menciptakan ketidakpastian mengenai dogma, data, dan aturan apa yang diikuti oleh Gubernur BI Perry Warjiyo ketika membuat keputusan moneternya.
Untuk saat ini, Satria memperkirakan BI Rate tetap dipertahankan di 5,75% pada sisa akhir 2025.
Baca Juga
Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan adanya pemangkasan maupun kenaikan suku bunga ke depannya.
“Di tengah ketiadaan panduan ke depan yang jelas dari BI, penurunan suku bunga atau bahkan kenaikan suku bunga di tahun ini masih mungkin terjadi jika imbal hasil global bergerak ke arah tertentu,” jelasnya.
Setelah keputusan mempertahankan suku bunga, investor juga dihadapkan dengan IHSG yang turun lebih dari -1%. Hal ini terjadi bahkan ketika BI mencoba untuk menstimulasi ekonomi melalui berbagai langkah makroprudensial.
Misalnya, BI menaikkan rasio Insentif Kebijakan Likuiditas Makroprudensial (KLM) dari 4% menjadi 5% untuk mendorong penyaluran kredit di sektor perumahan dan pertanian, yang sejalan dengan program-program Presiden Prabowo yaitu Program Sembako Gratis, Program Tiga Juta Rumah, dan Program Swasembada Pangan.
Alasan BI menahan suku bunga, yakni untuk menjaga stabilitas rupiah serta mendukung langkah-langkah pro-pertumbuhan melalui insentif likuiditas, memberikan fleksibilitas dan pendanaan tambahan bagi bank untuk menyalurkan kredit ke sektor-sektor prioritas ini.
Satria turut melihat pasar mungkin juga mencatat ketidakkonsistenan dalam operasi moneter pasar terbuka BI, karena BI meningkatkan pembelian obligasi pemerintah/SBN ketika imbal hasil domestik turun (hal ini biasanya dilakukan ketika imbal hasil melonjak untuk mengendalikan biaya pinjaman, bukan ketika imbal hasil turun).
BI telah membeli Rp32,46 triliun pada pertengahan Februari, termasuk Rp12,99 triliun dari pasar primer. Tidak seperti di bulan Januari, ketika BI turun tangan ketika imbal hasil diperdagangkan di 7,0%—7,2%, pembelian di bulan Februari terjadi bahkan ketika imbal hasil turun di bawah 7%, yang mengisyaratkan pendekatan yang lebih agresif.
Ruang Penurunan Suku Bunga Masih Terlihat
Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan pada dasarnya BI Rate dirumuskan mengacu pada arah inflasi ke depan dan pertumuhan ekonomi di dalam negeri.
Meski demikian, terkait kapan penurunan suku bunga acuan, bank sentral harus mempertimbangkan dinamika global.
"Kalau kami mengatakan ada ruang penurunan BI Rate, karena kami melihat inflasinya rendah, dan kami terus turut mendukung pertumbuhan ekonomi," ujarnya dalam konferensi pers, Rabu (19/2/2025).
Sebagaimana pada Januari 2025 lalu, Perry menuturkan timing yang tepat untuk menurunkan suku bunga acuan BI Rate sebesar 25 basis poin dari 6% menjadi 5,75%.
Alasannya, karena pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksi lebih rendah pada bulan lalu dari sebelumnya, sehingga perlu dorongan dari penurunan suku bunga.
Di mana BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2025 akan cenderung lebih rendah di kisaran 4,7%—5,5%, sedikit lebih rendah dari kisaran prakiraan sebelumnya 4,8%—5,6%.
Sementara pada hasil analisis RDG Februari 2025, bank sentral masih melihat prospek pertumbuhan ekonomi 2025 dari data terakhir, termasuk soal kebijakan teranyar terkait efisiensi.
"Dampak perubahan global terhadap ekspor kita, pengaruh kebijakan dalam program Asta Cita yang mendorong pertumbuhan ekonomi, pengaruh kebijakan efisiensi fiskal. Masih terlalu awal, kami akan melihat ke sana. Intinya ruang [penurunan] ada," tegas Perry.