Bisnis.com, JAKARTA — Bank Indonesia memproyeksikan defisit transaksi berjalan 2025 akan semakin lebar, usai pada 2024 defisit mencapai US$8,9 miliar atau lebih dalam dari 2023 yang senilai US$2 miliar.
Secara persentase terhadap produk domestik bruto (PDB), melebarnya defisit pada 2024 tersebut masih dalam kisaran target Bank Indonesia (BI) sebesar 0,1%—0,9% dari PDB pada 2024.
Untuk tahun ini, Gubernur BI Perry Warjiyo memperkirakan defisit transaksi berjalan akan memasuki rentang 0,5% sampai dengan 1,3% dari PDB.
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede juga mengestimasi akan ada pelebaran current account deficit (CAD) mencapai 1,18% dari PDB.
Hal tersebut didorong oleh permintaan domestik yang kuat dan agenda pro-pertumbuhan yang mendorong impor.
“Sementara ekspor menghadapi tantangan dari ‘Perang Dagang 2.0’ tetapi defisit tetap terkendali dibandingkan dengan tingkat sebelum pandemi,” ujarnya, Jumat (21/2/2025).
Baca Juga
Pada dasarnya neraca transaksi berjalan adalah neraca perdagangan ditambah pendapatan faktor neto (seperti bunga dan dividen dari investasi asing atau kiriman uang pekerja) dan transfer dari luar negeri (seperti bantuan asing).
Sejalan dengan hal tersebut, Josua melihat neraca transaksi finansial diperkirakan akan tetap positif pada 2025, didukung oleh investasi langsung dan investasi lainnya, meskipun investasi portofolio dapat membukukan defisit di tengah meningkatnya ketidakpastian global.
Sementara secara keseluruhan, balance of payment (BoP) atau Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) 2025 diproyeksikan akan mencatat defisit kecil, yang mengarah pada penurunan cadangan devisa yang moderat pada akhir tahun.
Josua mewanti-wanti pada akhirnya defisit BoP dapat membatasi ruang untuk penurunan suku bunga acuan atau BI Rate pada 2025.
Utamanya, karena ketidakpastian global mengurangi aliran masuk modal, menggarisbawahi pentingnya kebijakan moneter dalam menjaga stabilitas Rupiah dan menekan inflasi impor.