Bisnis.com, JAKARTA - Sektor perbankan akan merasakan dampak negatif dari kombinasi sentimen kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan pelemahan nilai tukar rupiah.
Pengamat perbankan dan praktisi sistem pembayaran Arianto Muditomo menyebut dampak kebijakan tarif Trump dan pelemahan rupiah terhadap bisnis perbankan di Indonesia dapat terlihat dari meningkatnya volatilitas nilai tukar serta tekanan terhadap stabilitas makroekonomi.
Dia menjelaskan kebijakan tarif Trump yang bersifat proteksionis memicu ketegangan dagang global, terutama antara AS dan China. Hal tersebut menyebabkan arus modal asing keluar dari pasar negara berkembang seperti Indonesia.
Arianto melanjutkan, hal ini berujung pada pelemahan rupiah, yang meningkatkan biaya impor dan mendorong inflasi.
"Bagi sektor perbankan, dampaknya adalah meningkatnya risiko kredit, khususnya pada debitur berbasis impor dan sektor yang sangat tergantung pada bahan baku luar negeri," kata Arianto.
Selain itu, tekanan terhadap nilai tukar juga memicu kewaspadaan otoritas moneter, yang dapat berujung pada pengetatan kebijakan suku bunga dan berpengaruh pada permintaan kredit.
Baca Juga
Adapun, Arianto menyebut prospek bisnis perbankan ke depannya setelah kebijakan tarif Trump bergantung pada kemampuan perbankan beradaptasi terhadap ketidakpastian global dan perubahan arah kebijakan ekonomi domestik.
Meskipun dalam jangka pendek terjadi tekanan pada nilai tukar dan pasar keuangan, dalam jangka menengah, dia menyebut perbankan Indonesia masih memiliki peluang untuk tumbuh melalui pendalaman pasar domestik, ekspansi kredit produktif, dan digitalisasi layanan.
Namun, dia menilai perbankan harus lebih selektif dalam penyaluran kredit dan memperkuat manajemen risiko, terutama jika ketegangan dagang terus memicu volatilitas eksternal.
"Dukungan regulasi yang responsif dan stabilitas fiskal akan menjadi kunci agar sektor perbankan tetap resilien di tengah tekanan global," jelas Arianto.