Bisnis.com, JAKARTA — Likuiditas valuta asing atau valas menjadi salah satu tantangan perbankan Tanah Air di tengah gejolak perekonomian global, khususnya setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memberlakukan tarif resiprokal terhadap sejumlah negara, tak terkecuali Indonesia.
Tekanan makroekonomi tersebut memicu volatilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Bank mesti memutar otak untuk memperluas opsi pendanaan dan menyeimbangkan penyaluran kredit dengan potensi risiko yang ada.
PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) meyakini bahwa kecukupan likuiditas valas dapat dipertahankan dengan strategi pengelolaan yang pruden dan fleksibel. Corporate Secretary Bank Mandiri M. Ashidiq Iswara menuturkan bahwa siasat itu didukung oleh diversifikasi sumber dana yang solid.
“Bank Mandiri memiliki berbagai macam alternatif untuk melakukan pendanaan, baik melalui strategi penghimpunan dana pihak ketiga [DPK] Valas maupun pendanaan non-DPK beruap wholesale funding melalui transaksi yang sifatnya bilateral, club deal, ataupun penerbitan surat utang,” katanya kepada Bisnis, dikutip pada Senin (14/4/2025).
Dia memaparkan, kinerja intermediasi Bank Mandiri berkenaan dengan valas masih menunjukkan tren positif pada akhir 2024 lalu. Penyaluran kredit valas bank berlogo pita emas ini tercatat tumbuh 10,12% secara tahunan (year on year/YoY).
Menurut Ashidiq, realisasi itu dapat dicapai berkat dukungan Bank Mandiri terhadap pembiayaan nasabah global, khususnya pelaku usaha yang membutuhkan eksposur dalam mata uang asing.
Tren serupa juga berlaku pada pendanaan valas Bank Mandiri pada tahun lalu, yang mencatatkan pertumbuhan sebesar 5,92% (YoY). Transaksi terbanyak masih berasal dari aktivitas trade finance dan treasury, yang menjadi kebutuhan utama nasabah korporasi dengan jaringan internasional.
“Terbaru, kami baru saja menerbitkan Euro Medium Term Note [EMTN] senilai US$800 juta pada 24 Maret 2025 dengan proceed yang digunakan untuk pengembangan bisnis perseroan,” paparnya.
Setali tiga uang, PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) alias BCA juga menelaah dampak kebijakan tarif AS dengan berfokus pada fundamental bisnis perseroan. Bank milik Grup Djarum ini meyakini bahwa pemerintah dan otoritas telah memiliki langkah strategis dalam mengantisipasi dinamika perekonomian global tersebut.
EVP Corporate Communication & Social Responsibility BCA Hera F. Haryn menyebut bahwa pihaknya berupaya mempertahankan posisi permodalan dan likuiditas yang solid, sekaligus memberikan landasan bagi pertumbuhan kredit yang berkesinambungan dan berkualitas.
“Di tengah fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap valuta asing akibat tekanan ekonomi global, BCA mengelola risiko terkait eksposur valuta asing dengan menjaga rasio Posisi Devisa Neto [PDN] secara konservatif,” katanya saat dihubungi.
Hera menjelaskan, posisi PDN BCA tercatat sebesar 0,3% pada Desember 2024, terpaut jauh di bawah batas maksimum sebesar 20% yang diterapkan oleh regulator.
Terkait risiko nilai tukar mata uang dan suku bunga pada waktu yang akan datang, BCA disebutnya telah menyiapkan sejumlah langkah, termasuk dengan melakukan penetapan dan kontrol limit risiko pasar. Pengukuran risiko dilakukan dengan pelaksanaan uji stres.
“Pencadangan LAR [loan at risk] BCA tercatat solid sebesar 76,9%, salah satu yang tertinggi di industri perbankan. Sementara itu, pencadangan NPL [nonperforming loan] BCA tercatat sebesar 208,5%, berada pada level yang memadai dalam menghadapi ketidakpastian kondisi ekonomi dan bisnis debitur,” tuturnya.
Sebelumnya, Pengamat Perbankan dan Praktisi Sistem Pembayaran Arianto Muditomo menggarisbawahi bahwa kebijakan tarif Trump yang bersifat proteksionis memicu ketegangan dagang global, terutama antara AS dan China. Hal tersebut menyebabkan arus modal asing keluar dari pasar negara berkembang seperti Indonesia.
Menurutnya, hal ini berujung pada pelemahan rupiah, yang dapat meningkatkan biaya impor dan mendorong inflasi.
"Bagi sektor perbankan, dampaknya adalah meningkatnya risiko kredit, khususnya pada debitur berbasis impor dan sektor yang sangat tergantung pada bahan baku luar negeri," katanya, Senin (7/4/2025).
Baca Juga : Bukan China yang Paling Boncos oleh Tarif Trump, Negara Berkembang di Asean Ini Paling Rentan |
---|
Senada, Head of Research Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan mengatakan pergerakan mata uang Garuda yang sempat menembus Rp17.000 per dolar AS semakin meningkatkan potensi Bank Indonesia (BI) untuk menaikkan suku bunga acuan.
"Hal ini akan berdampak pada peningkatan risiko kredit yang dapat menekan kinerja bisnis dan keuangan bank," jelasnya.
Menurutnya, perlu ada langkah-langkah strategis yang dapat menjaga stabilitas rupiah. Dia juga menyebut perlunya menjaga iklim bisnis dengan baik, khususnya pada sektor ekspor dengan melakukan negosiasi tarif impor.
Trioksa lantas menyinggung opsi pemberian stimulus untuk menjaga tingkat likuiditas bank, misalnya melalui kebijakan makroprudensial bank sentral maupun pemberlakuan restrukturisasi seperti pada era pandemi Covid-19.
"Tetapi, pemberlakuannya harus kondisional sesuai perkembangan," ujarnya.