Bisnis.com, JAKARTA - Senyum semringah menyapu bersih ekspresi ‘wajah serius’ Menteri Keuangan (Mankeu), Sri Mulyani pada konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) beberapa hari yang lalu. Isyarat gembira itu menyertai penilaian Ibu Menkeu perihal pergerakan kurs rupiah dalam tren menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Dalam kesempatan tersebut Menkeu menandaskan nilai tukar rupiah tetap stabil dan cenderung menguat didukung konsistensi kebijakan stabilisasi Bank Indonesia (BI), di tengah masih tingginya ketidakpastian global (Bisnis Indonesia 28/7/2025).
Faktanya memang nilai kurs rupiah cenderung menguat dibandingkan saat Presiden Donald Trump kali pertama mengumumkan kebijakan tarif resiprokal pada April 2025. Pada saat itu kurs rupiah melemah hingga nyaris menembus Rp17.000-an per-dolar AS. Kemudian per-30 Juni 2025 kurs rupiah kembali berotot dengan nilai kurs Rp16.314,17 per dolar AS.
FAKTOR PENGUAT
Mencermati catatan kurs transaksi BI dalam sepekan terakhir, kurs rupiah terhadap dolar AS bergerak stabil pada kisaran Rp16.400-an. Namun, per 5 Juli 2025 kurs rupiah melemah kembali di posisi Rp16.469,94.
Kendati demikian, BI dan pemerintah tetap optimis nilai kurs rupiah bakal terus menguat menuju Rp16.000 sebagaimana dipatok dalam asumsi dasar ekonomi makro APBN 2025. Setidaknya ada sejumlah argumen yang melatari optimisme pemerintah dan BI tersebut.
Pertama, intervensi BI di pasar valuta asing sejak April 2025 dinilai efektif mengembalikan keperkasaan rupiah. Langkah ini dilakukan BI untuk meredam tekanan eksternal yang makin kuat, terutama ekspektasi terhadap suku bunga The Fed yang tetap tinggi. Ditambah lagi meningkatnya ketegangan geopolitik di Timur Tengah yang mengancam tingginya ketidakpastian global.
Baca Juga
Kedua, aliran modal asing yang masuk ke Indonesia (capital inflow). Cukup derasnya aliran modal asing masuk ke pasar keuangan domestik, menjadi pemicu kurs rupiah bergerak menguat terhadap dolar AS.
Menurut BI (2025) pada pekan kedua Juni 2025 aliran modal asing yang masuk ke Indonesia tercatat sebesar Rp5,2 triliun, dengan perincian Rp0,83 triliun di pasar saham, dan Rp5,08 triliun di pasar surat berharga negara (SBN). Serta modal asing keluar (capital outflow) bersih sebesar Rp0,71 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Sementara pada pekan terakhir Juni 2025 tercatat capital inflow sebesar Rp2,83 triliun, dengan perincian Rp1,29 triliun di pasar SBN, dan Rp3,68 triliun di SRBI. Serta capital outflow senilai Rp2,14 triliun di pasar saham.
Ketiga, kebijakan BI terkait devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA). Konversi dolar AS ke rupiah oleh eksportir pasca penerapan penguatan kebijakan terkait DHE SDA juga turut mendukung apresiasi nilai tukar rupiah.
Keempat, kerja sama lintas negara dalam penggunaan mata uang lokal untuk transaksi, atau Local Currency Transaction (LCT). LCT merupakan sistem transaksi lintas negara yang menggunakan mata uang lokal masing-masing negara, bukan dolar AS. LCT dinilai berperan menjaga stabilitas ekonomi di tengah dinamika global dan domestik.
Menurut catatan BI (2025) nilai transaksi LCT tembus US$11,7 miliar atau setara Rp190,71 triliun (kurs Rp 16.300). Angka ini meningkat tajam dibanding semester I/2024 yang tercatat sebesar US$4,7 miliar atau Rp76,61 triliun. Selain itu, jumlah nasabah LCT naik signifikan, yakni tumbuh sekitar 45% dibandingkan tahun sebelumnya.
TETAP WASPADA
Di tengah kabar gembira tersebut, pemerintah dan BI disarankan tetap waspada. Sebab, tingginya ketidakpastian perekonomian global masih membayangi ekonomi domestik. Meskipun negosiasi Indonesia-AS atas tarif barang impor resiprokal AS berhasil menurunkan tarif yang semula 32% menjadi 19%. Namun, secara umum masih menjadi beban bagi pihak Indonesia.
Indonesia memang lumayan diuntungkan dengan tarif resiprokal AS sebesar 19%, tetapi terhitung mahal karena negara-negara yang tidak ikut menandatangani perjanjian dagang dengan AS dikenakan tarif impor rata-rata 15%—20%. Misalnya Jepang dan Uni Eropa berhasil negosiasi tarif hanya sebesar 15$.
Namun, yang lebih krusial, Indonesia harus membayar harga yang lebih mahal atas kompensasi turunnya tarif resiprokal AS menjadi 19%, yakni antara lain, Indonesia wajib impor energi dari AS senilai Rp244 triliun, wajib membeli 50 unit pesawat Boeing-777 dari AS, wajib membeli alat pertanian dari AS senilai Rp73 triliun.
Alhasil, jika kesepakatan itu dijalankan secara ketat, maka kondisi ini bakal menekan nilai tukar rupiah. Sebab, semua transaksi tersebut dibayar memakai dolar AS. Sehingga ke depan dikhawatirkan mengganggu kecukupan cadangan devisa negara.
Hal lain, kerentanan tekanan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS banyak dipengaruhi aliran arus modal keluar (capital outflow) yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir. BI (2025) mencatat pada minggu keempat Juli 2025, capital outflow dari Indonesia mencapai Rp11,30 triliun.
Pada 21—24 Juli 2025, tercatat capital outflow di SRBI sebesar Rp13,50 triliun. Sementara capital inflow-nya terhitung kecil, yakni di pasar saham dan SBN masing-masing sebesar Rp100 miliar dan Rp2,10 triliun.
Meredanya eskalasi konflik Iran-Israel juga perlu diwaspadai, karena di masa gencatan senjata biasanya masing-masing pihak mudah tersulut untuk perang kembali dengan skala yang lebih besar. Jika kondisi ini terjadi, gangguan pasokan energi dan pangan global bakal terjadi, sehingga berimbas pada lonjakan harga energi dan pangan global.
Utang pemerintah yang terus menggunung, dan pembayaran pokok pinjaman dan bunganya yang segera jatuh tempo, juga perlu diwaspadai. Hal ini mengingat, pembayaran utang luar negeri dan pembiayaan impor sangat bergantung pada kecukupan cadangan devisa negara.
Dengan demikian untuk menjaga nilai tukar rupiah tetap berotot sepanjang masa, kewaspadaan tentu lebih menyelamatkan, daripada kabar gembira tetapi melenakan.