Kabar24.com, JAKARTA - Sedikitnya 222 komisaris di BUMN atau badan sejenis masih merangkap jabatan sebagai pejabat pelaksana layanan publik.
Demikian temuan Ombudsman Republik Indonesia sebagaimana dikutip Antara, Jumat (5/5/2017) pagi.
"Ombudsman melakukan penelusuran sementara dan mendapatkan di BUMN atau badan sejenis masih terjadi rangkap jabatan sebagaimana dimaksud. Dari 144 unit yang dipantau, ditemukan 541 komisaris yang 222 atau 41 persen merangkap jabatan sebagai pelaksana pelayanan publik," kata Anggota Ombudsman RI Bidang Ekonomi II Ahmad Alamsyah Saragih di Jakarta, Kamis (4/5).
Data tersebut, kata dia, belum termasuk BUMD karena banyak pemerintah daerah menempatkan Sekretaris Daerah untuk menjabat sebagai komisaris di BUMD.
"Di beberapa daerah masih ada yang menempatkan Kepala Dinas sebagai Komisaris di BUMD. Temuan sementara ini masih dalam tahap verifikasi dan konfirmasi oleh Ombudsman RI," katanya.
Menurut dia, berdasarkan tinjauan normatif bahwa di dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik telah mengatur larangan bagi pelaksana pelayanan publik untuk merangkap jabatan Komisaris pada BUMN/D di mana larangan tersebut diatur pada Pasal 17 Undang-Undang Pelayanan Publik.
Baca Juga
Selain tinjauan normatif, kata dia, tinjauan etik juga perlu dilakukan.
Menurut Alamsyah, tinjauan etik terhadap rangkap jabatan memerlukan kerangka kepatutan berdasarkan konsekuensi bahaya yang ditimbulkan.
"Hal ini penting untuk memastikan kepentingan publik lain yang ingin dilindungi oleh pemerintah dengan menempatkan pejabat tertentu menjadi komisaris di BUMN/D, yakni menjamin misi BUMN tersebut selaras dengan misi pemerintah tetap dapat terjamin," ujarnya.
Oleh karena itu, kata dia, diperlukan pengaturan agar dapat mereduksi potensi bahaya yang ditimbulkan apabila pejabat aktif ditempatkan sebagai Komisaris BUMN/D.
"Potensi bahaya yang diidentifikasi oleh Ombudsman adalah terjadinya konflik kepentingan, penghasilan ganda, dan tidak kapabel," kata Alamsyah.
Ombudsman memandang diperlukan konsistensi terhadap peraturan yang ada terutama Undang-Undang Pelayanan Publik.
"Selain hal itu diperlukan penerapan standar etika bagi pejabat yang merangkap jabatan dengan memitigasi kemungkinan terjadinya konflik kepentingan, penghasilan ganda, dan tidak kapabel," tuturnya.
Ia menjelaskan ada dua opsi untuk pemerintah terkait rangkap jabatan tersebut.
Opsi pertama, kata dia, menerapkan kebijakan tidak ada rangkap jabatan untuk komisaris BUMN/D.
"Untuk itu pemerintah memilih perwakilan yang memiliki kualifikasi yang jelas untuk menjalankan misinya dan menyampaikan pertanggungjawaban kinerjanya secara terbuka kepada publik," kata Alamsyah.
Kemudian opsi kedua, mengangkat pejabat sebagai komisaris untuk BUMN tertentu yang dinilai memiliki relasi kuat dengan fungsi publik instansi yang bersangkutan.
"Namun, pejabat tersebut tidak masuk kategori penyelenggara pelayanan publik, tidak menerima imbalan maupun insentif lain dari BUMN/D yang bersangkutan, memiliki kompetensi yang sesuai dengan misi penempatan, dan kegiatan sebagai komisaris masuk dalam tugas dan fungsi pejabat di instansi asal sehingga kinerjanya dapat dipertanggungjawabkan sebagai misi Kementerian atau lembaga yang dimaksud," katanya.