Bisnis.com, JAKARTA — Pakar hukum menilai penggunaan istilah kartel dalam kasus dugaan praktik kartel suku bunga di industri pinjaman daring (pindar) atau P2P lending yang kini bergulir di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tidak tepat.
Menurut Direktur Eksekutif LKPU FH UI Ditha Wiradiputra kartel memiliki arti yang luas. Dalam UU Nomor 5/1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, kartel adalah praktik anti persaingan oleh pelaku usaha untuk memengaruhi harga melalui pengaturan produksi.
“Yang menyebabkan persaingan usaha tidak sehat. Jadi, oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, seolah-olah kartel itu merupakan praktek pengaturan produksi untuk memengaruhi harga,” katanya dalam acara diskusi publik, di Penang Bistro Kebon Sirih, Jakarta, Rabu (27/8/2025).
Ditha mengaku setelah dirinya meneliti lebih dalam mengenai kasus yang menyeret 97 pindar terlapor ini, pasal yang sebenarnya dikenakan tim investigator KPPU adalah pasal yang berkaitan dengan penetapan harga atau istilahnya price fixing.
“Agar kita konsisten dengan pengaturan yang terdapat di dalam undang-undang, harusnya gunakanlah istilah penetapan harga, perjanjian penetapan harga. Kalau bahasa asingnya adalah price fixing,” tegasnya.
Meski begitu, Ditha tak menampik bahwa istilah ini tidak terlalu familiar di publik. Namun, dia merasa hal ini perlu ditegaskan karena bila menggunakan istilah kartel seolah-olah dugaannya melanggar pasal 11, padahal aslinya ternyata pasal 5 UU Nomor 5/1999.
Baca Juga
“Memang kalau secara teori itu sama-sama mengenai masalah kartel, tapi undang-undang kita memberikan pengaturan yang berbeda, sehingga kalau kita mau konsisten dengan pengaturan undang-undang, ya kita harus mengatakan bahwa ini bukan kartel loh, ini price fixing,” ucapnya.
Lebih lanjut, Ditha pun mengemukakan bahwa laporan dugaan pelanggaran yang digunakan investigator KPPU sebagai alat bukti adalah SK atau pedoman perilaku (code of conduct) yang dibuat Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI) pada 2020.
Pedoman perilaku itu, katanya, mengatur mengenai ketentuan larangan untuk mengenakan suku bunga maksimal di atas 0,8% pada waktu itu dengan tujuan melindungi pengguna dana dari pinjaman daring (pindar).
“Perusahaan-perusahaan anggota AFPI diminta tidak boleh mengenakan suku bunga pinjaman kepada para pengguna dana mereka itu tidak boleh lebih dari 0,8%. Artinya apa? Artinya perusahaan-perusahaan ini kalau ingin mengenakan suku bunga di bawah itu boleh-boleh saja,” bebernya.
Lebih jauh, dia juga menilai sebenarnya kasus dugaan ini sudah kedaluwarsa. Merespons hal tersebut, Ketua Bidang Humas AFPI Kuseryansyah menyetujui pendapat itu.
“Ya setuju itu, itu pandangan ahli kan? Itu pandangan ahli bilang ya ini kasusnya kasus lama, sekarang situasinya sebenarnya sudah berubah jauh, kenapa masih harus di ini [perkarakan] kan? Kami setuju dengan pandangan ahli itu,” katanya.