Bisnis.com, JAKARTA - Kebijakan Bank Indonesia untuk menaikkan lagi BI rate dan Fasilitas Bank Indonesia (Fasbi) dinilai agresif dan responsif untuk mengendalikan laju inflasi dan nilai tukar rupiah.
Ekonom PT Bank Negara Indonesia (BNI) Tbk Ryan Kiryanto mengungkapkan bahwa Bank Indonesia (BI) lebih agresif dari sebelumnya.
Dia mengapreasi atas kenaikan BI Rate menjadi 6,5% dan Fasbi menjadi 4,75% dan penaikan sebesar 50bps mengindikasikan pada beberapa hal yakni BI bertindak preemptive atau antisipatif untuk kendalikan rupiah dan inflasi.
"BI lebih agresif dari stance [pendirian Dewan Gubernur BI] sebelumnya, karena baru kali ini kenaikan 50 bps dilakukan untuk BI rate dan fasbi secara bersamaan," jelasnya hari ini, Kamis (11/7/2013).
Ryan mengungkap BI melihat proyeksi ekspektasi inflasi yang cenderung tinggi (berkisar 7,4%-8%) pascakenaikan harga bahan bakar minyak yang bertepatan dengan bulan Ramadhan dimana saat ini kenaikan harga bahan pokok nyaris tak terkendali.
"BI juga melihat tekanan terhadap rupiah makin besar terutama oleh karena kinerja necara perdagangan yang defisit, walaupun dampak pernyataan Ben Bernanke sudah reda setelah Bernanke menyatakan QE3 masih berlanjut," ucapnya.
Dia menganalisis alasan BI menaikkan sampai 50bps karena BI berkeinginan inflasi segera turun dan rupiah segera menguat pasca kenaikan BI rate dan bunga fasbi masing-masing 50 bps.
"Karena kalau hanya naik 25 bps dianggap belum akan efektif menjinakkan inflasi dan fluktuasi rupiah. Dan konsekuensinya adalah bank-bank bakal segera naikkan bunga simpanan, lalu bunga kredit," jelasnya.
Dia juga memprediksikan bahkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga akan menaikkan LPS rate minimal 25bps sampai 50 bps untuk simpanan rupiah untuk menenangkan pasar perbankan.