Bisnis.com, MEDAN--Bank Indonesia memprediksi kredit perbankan tahun depan hanya tumbuh 15%-17% atau lebih rendah dari prediksi pertumbuhan tahun ini. Lantaran itu, perbankan harus mengerem biaya dana (cost of fund)
Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan kenaikan suku bunga acuan atau BI Rate hanya berdampak sementara bagi pertumbuhan kredit perbankan di Tanah Air.
Dia menilai kredit perbankan tahun ini tumbuh cukup baik yakni sekitar 20%. Pertumbuhan kredit akibat penaikkan BI Rate, seharusnya tidak bermasalah bagi pengusaha.
"Tapi memang perbankan harus mengurangi biaya dananya. Kalau biaya dana terlalu tinggi memang akan kena ke bunga kredit, perbankan harus bisa mengerem," ungkapnya di Medan, Minggu (24/11/2013).
Menurutnya, bank sentral memiliki alasan kuat untuk menaikkan BI Rate. Saat ini Indonesia tengah menghadapi risiko yang cukup besar salah satunya untuk menghadapi suku bunga Amerika Serikat yang cepat atau lambat akan mengalami peningkatan.
Di sisi lain, AS juga akan mengurangi stimulus moneter. Pada 2009-2012 lalu, Indonesia memang menghadapi arus modal yang masuk dan membanjiri negara-negara berkembang. Namun, sejak semester II/2013 hingga 2014 mendatang, arus modal diperkirakan akan terus keluar.
Untuk itu, sambungnya, Indonesia sudah harus memperbaiki rasio-rasio angka makro ekonomi. Rasio yang perlu diperbaiki antara lain inflasi yang diharapkan dapat kembali kepada level normal sebesar 4% plus minus 1% atau 3,5%-5,5%.
Kemudian, defisit neraca berjalan yang saat ini dinilai cukup berat. Current account Indonesia hingga sekarang masih defisit lebih dari 3% terhadap produk domestik bruto (PDB). Padahal menurut dia batas normal defisit neraca berjalan sebesar 3% terhadap PDB.
Pada kuartal II/2013, defisit neraca berjalan mencapai 4,4% terhadap PDB. Lalu pada kuartal III/2013 sedikit membaik menjadi 3,8% terhadap PDB. Diharapkan pada kuartal IV/2013 current account kurang dari 4% terhadap PDB.
"Tahun depan kami pastikan defisitnya harus di bawah 3% terhadap PDB. Apa yang bisa dilakukan? harus gabungan kebijakan moneter dan sektor ril," paparnya.
Dia menuturkan bahwa BI telah mengambil kebijakan moneter dengan menaikkan BI Rate hingga 7,5%, nilai tukar rupiah telah ditahan, sehingga diharapkan dapat menekan laju impor dan ekspor bisa lebih kompetitif.
Kendati demikian, dia mengungkapkan kebijakan moneter memiliki batas. Menurut Mirza, kebijakan moneter tidak boleh terlampau ketat di pasar keuangan sehingga diharuskan ada sebuah inisiatif pada sektor ril.
Defisit neraca berjalan, lanjutnya, terdapat pada sektor reasuransi, sektor perkapalan, dan utang swasta ke luar negeri yang terlalu besar. Selain itu, jumlah turis asing yang datang ke Indonesia terlampau sedikit dibandingkan ke Malaysia dan Thailand juga dinilai menyumbang defisit neraca berjalan.
Andaikata jumlah turis yang datang lebih banyak, dia mencontohkan, maka akan mendatangkan lebih banyak devisa bagi negara dan dapat mengurangi defisit neraca berjalan. Jika industri dapat menggunakan kapal-kapal dalam negeri, akan mengurangi biaya perkapalan dari luar negeri.
Begitu juga apabila sektor asuransi Tanah Air cukup kuat, Indonesia tidak perlu membayar reasuransi ke luar negeri. Tentunya bisa juga mengundang penanaman modal asing (PMA) untuk menurunkan defisit neraca berjalan.
Akan tetapi, PMA yang diundang untuk berinvestasi di dalam negeri tidak serampangan dan hanya memanfaatkan pasar Indonesia dengan menggunakan produk impor. Sebaiknya PMA yang dimaksud adalah perusahaan yang dapat memperkuat ekspor dan barang modal.
Dengan begitu, Indonesia tidak lagi terus-menerus impor barang modal, barang mentah dan barang konsumsi. Pasalnya, dari catatan BI, Indonesia mengimpor mulai barang modal sampai barang konsumsi.