Bisnis.com, JAKARTA — Kamar Dagang dan Industri mengadakan sosialisasi kepada anggotanya tentang pelaksanaan Undang-undang No.24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) pada 1 Januari 2014.
Ketua Komite Tetap Hubungan Industrial Kadin Hasanuddin Rachman mengatakan menjelang implementasi Undang-undang tersebut terdapat banyak hal yang dinilai belum jelas. Dalam implementasi UU BPJS diperkirakan dapat menimbulkan permasalahan, terutama terkait dengan iuran untuk masing-masing program baik itu ketenagakerjaan maupun kesehatan.
Untuk mendukung keberhasilan implementasi BPJS, pengusaha perlu lebih memahami tentang implikasi dari kedua BPJS tersebut. Terutama terkait peran, hak dan kewajiban dunia usaha.
“Oleh karena itu, sosialisasi mengenai besaran iuran baik itu dari pemberi kerja maupun dari penerima upah harus lebih diperjelas,” kata Hasanuddin dalam seminar Sosialisasi BPJS dengan tema Kesiapan Dunia Usaha Menyongsong BPJS pada 2014, Selasa (10/12/2013).
Berbeda dengan jaminan kesehatan, jaminan ketenagakerjaan masih belum ada gambaran yang jelas terkait besaran dana pensiun yang akan dikelola oleh PT Jamsostek. “
Kami masih menunggu keputusan berapa iuran kepesertaan BPJS ketenagakerjaan yang akan dibayarkan pengusaha, pekerja maupun pemerintah.”
Diketahui, pada 4 Juli 2013 Lembaga Tripartit telah menyepakati bahwa mulai tanggal 1 Januari 2014 sampai dengan 30 Juni 2015 iuran jaminan kesehatan ditanggung oleh pemberi kerja sebesar 3% dari 2 kali penerimaan tidak kena pajak (PTKP).
Sementara itu, mulai 1 Juli 2015 sampai dengan seterusnya, jaminan kesehatan sebesar 3% akan ditanggung bersama oleh pemberi kerja dan pekerja, karena pokok-pokok sistem jaminan sosial nasional dilaksanakan dalam skema asuransi sosial yang sifatnya wajib.
Dalam pelaksanaan BPJS kessehatan dan ketenagakerjaan, paparnya, pengusaha akan menjadi obyek dari program ini karena adanya tambahan beban keuangan nonupah yang harus dibayarkan.