Bisnis.com, JAKARTA – Beberapa analis berpendapat industri keuangan nonbank belum cepat tanggap dalam mengidentifikasi risiko perusahaan sebagai antisipasi mendeteksi potensi kegagalan dalam memenuhi kewajiban kepada nasabah.
Sulad Sri Hardanto, President Director PT. Mitra Finanz Wicaksana memerkirakan 50% industri IKNB belum memahami identifikasi risiko secara komperhensif, kendati Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mewajibkan perusahaan memberi laporan risiko perusahaan secara berkala.
“Perusahaan skala besar mungkin sudah siap, namun hampir 50% belum memahami ini. Didominasi oleh perusahaan-perusahaan kecil,” katanya usai workshop Penilaian Atas Tingkat Risiko Lembaga Jasa Keuangan No- Bank di Bisnis Indonesia, Kamis, (7/5/2015).
Tahun lalu, OJK mewajibkan seluruh lembaga jasa keuangan nonbank menerapkan penilaian tingkat risiko melalui POJK no.10/2014. Pada Februari lalu, perusahaan mulai melaporakan tingkat perusahaanya kepada OJK untuk memberikan gambaran kesehatan perusahaan.
Beberapa risiko yang dinilai adalah risiko strategi, risiko operasional, risiko aset dan liabilitas, resiko kepengurusan, risiko tata kelola, risiko dukungan dana, risiko asuransi (khusus untuk perusahaan asuransi dan reasuransi) dan risiko pembiayaan (khusus untuk perusahaan pembiayaan).
Meski demikian, Sulad menilai sosialisasi dan pengetahuan yang mendalam tentang memitigasi risiko belum cukup diketahui oleh perusahaan LKNB, khusunya perusahaan skala kecil, sehingga berpotensi merugikan penilaian perusahaan yang bersangkutan.
Tanggap
Dia mencontohkan perusahaan cenderung lebih cepat tanggap terhadap risiko yang langsung berhubungan dengan investasi atau bisnis perusahaan seperti risiko asuransi, pembiayaan, serta aset dan liabilitas, namun kurang tanggap terhadap risiko strategi ataupun risiko operasional.
“Kendalanya SDM lebih aware ke jualan dan investasi sehingga resiko lain dalam manajemen tidak diperhatikan,” katanya.
Haryajid Ramelan, Ketua Asosiasi Analis Efek Indonesia memperkirakan tingkat cepat tanggap perusahaan dalam mengendalikan risiko akan lebih tinggi pada tahun depan karena sosialisasi akan lebih efektif.
“Tahun ini masih rendah karena aturan ini baru, tapi tahun depan diperkirakan akan lebih meningkat awareness mereka terhadap pengendalian risiko,” katanya.
Menurut Haryajid, perusahaan pembiayaan menjadi lembaga yang paling berisiko dalam bentuk resiko asset dan liabilitas karena dana yang dikelola bersifat jangka pendek, sedangkan asuransi dan dana pensiun dalam jangka panjang dan cenderung stabil.