Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom berharap agar Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) segera menyelesaikan rancangan undang-undang (RUU) Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) di tengah kondisi perekonomian Indonesia yang tertekan.
Ketua Pusat Studi Ekonomi Universitas Gadjah Mada Tony Prasetiantono mengatakan kondisi perekonomian Indonesia saat ini merupakan momentum yang harus mendorong DPR untuk mempercepat pembahasan RUU JPSK.
"DPR segera percepat bahas RUU JPSK. Kita sudah punya pengalaman buruk saat krisis 1998 dan saat kasus Century," ujarnya kepada Bisnis.com, Rabu (26/8/2015).
Sebelumnya, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menuturkan pembentukan RUU JPSK dinilai perlu sebagai antisipasi atau penangkal terjadinya krisis ekonomi.
"Belajar dari krisis keuangan 1997dan 1998, pemerintah terus melakukan perbaikan menghadapi kondisi tidak normal sehingga perlu dibentuk UU JPSK dalam menciptakan stabilisasi sistem keuangan," katanya.
RUU JPSK ini dinilai mendesak untuk segera disahkan menjadi UU JPSK menyusul kondisi perekonomian Indonesia terkini yang tengah dalam kondisi tertekan.
Dengan adanya aturan tersebut, para pengambil kebijakan tidak takut lagi untuk memutuskan wewenangnya.
"Hadirnya UU JPSK ini memberi kewenangan pada instansi terkait untuk mengambil kewenangan dalam keadaan tidak normal maupun masalah bank berdampak sistemik dalam rangka memelihara stabilitas sistem keuangan," ucapnya.
Bambang menuturkan terdapat beberapa poin yang berbeda dari RUU JPSK pada 2013 dengan RUU JPSK di 2015.
Perbedaannya antara lain ruang lingkup RUU JPSK yang lama mencakup perbankan, asuransi, dan pasar SBN, sedangkan RUU JPSK 2015 ini hanya perbankan saja.
Pasalnya, sektor perbankan merupakan sendi utama sistem pembayaran sehingga apabila bermasalah akan mengancam ekonomi Indonesia.
Penetapan bank berdampak sistemik ditetapkan oleh Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) saat bank bermasalah.
Namun pada RUU JPSK baru ini dampak sistemik ditetapkan sebelumnya bermasalah atau predeterment oleh otoritas pengawas setelah koordinasi dengan Bank Indonesia (BI).
"Perbedaan ketiga, meminimalkan pemakaian dana publik. Pada RUU ini, penanganan bank kedepankan dengan private solutions, yakni dengan rencana penyehatan dan pemulihan disusun bank dan disetujui OJK," tuturnya.
Perbedaan RUU JPSK lainnya yakni masalah solvabilitas dalam metode ini disertai penanganan bank oleh LPS, yakni pengalihan aset dan kewajiban.
"Poin lainnya adalah tidak ada pasal imunitas bagi pengambil kebijakan. Namun, agar para pengambil kebijakan berani mengambil keputusan diusulkan ada pendampingan hukum.
Berdasarkan data Bank Indonesia, kurs tengah pada Rabu (26/8) ditetapkan di level Rp14.102 per dolar Amerika Serikat atau meningkat 35 poin dari level sebelumnya yang Rp14.067 per dolar Amerika Serikat.