Bisnis.com, JAKARTA - Bank Indonesia menyarankan dalam Rancangan Undang-undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) perlu dibentuk Badan Restrukturisasi Perbankan (BRP) yang dimasukkan dalam pasal khusus. BRP ini seperti Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada 1998.
Deputi Gubernur BI Hendar mengatakan BRP ini memiliki tugas dalam menyelesaikan kesulitan yang dihadapi perbankan. BRP ini juga memiliki tugas untuk menyelesaikan permasalahan perbankan yang berpotensi memperburuk perekonomian nasional.
"Nantinya, BRP bisa diaktifkan berdasarkan penetapan yang dilakukan oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) atas pertimbangan kondisi tidak normal dan ada permasalahan perbankan yang membahayakan perekonomian," ujarnya di DPP, Senin (28/9/2015).
BRP akan memiliki kewenangan yang sama dengan BPPN sesuai Pasal 37 A UU Perbankan serta pembiayaan BPR yang akan dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Hendar menuturkan dalam sistematika RUU JPSK, penetapan systemically important banks (Bank SIB) dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang berkoordinasi dengan Bank Sentral.
SIB ditetapkan dalam kondisi normal sesuai dengan undang-undang dan terdapat kemungkinan setelah ditetapkan, akan ada bank lain yang masuk ke dalam daftar tersebut sesuai dengan kriteria SIB.
"Yang menjadi issue apakah perlu menunggu untuk SIB yang baru itu menjadi eligible terhadap opsi-opsi penanganan permasalahan. BI usulkan bank tersebut harus memenuhi kewajiban dulu sebelum menjadi eligible," kata Hendar.
Dia menuturkan bank yang masuk ke dalam kategori SIB harus memenuhi beberapa kewajiban, seperti manajemen bank yang baik, permodalan yang cukup, dan perbankan harus menyusun recovery and resolution plan.
"BI juga mengusulkan SIB yang ditetapkan sewaktu-waktu ini harus sudah melewati suatu periode tertentu atau lock-up period, misalnya 1 tahun untuk dapat dinyatakan layak terhadap upaya-upaya penanganan oleh pihak otoritas," tutur Hendar.
Terkait dengan bank yang masuk kategori SIB, menurutnya, kriterianya antara lain nilai aset, kompleksitas, dan interkonektivitas. "Bank harus memiliki permodalan yang cukup dan mempunyai sistem manajemen yang baik. Ini untuk menghindari adanya moral hazard," ujar Hendar.