Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Asuransi Umum Indonesia menilai kebijakan retensi di dalam negeri yang akan dirilis Otoritas Jasa Keuangan akan membuat perusahaan kecil menghadapi kesulitan.
Yasril Y. Rasyid, Ketua Umum Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), mengatakan industri masih menunggu peraturan otoritas jasa keuangan (POJK) yang mengatur retensi ini. Dia mengatakan pada akhir 2014 telah terbit surat imbauan dari OJK agar industri meningkatkan risiko yang ditahan. Imbauan itu akan ditetapkan dalam peraturan.
"Rencananya [retensi] akan dilakukan [dinaikan] dobel [dari 1% menjadi 2%] dalam FGD [terakhir dipertimbangkan jadi 1,5%], tapi masih terus dibicarakan. Kalau langsung diterapkan perusahaan kecil akan kesulitan mendapatkan bisnis," kata Yasril, di Jakarta, Senin (21/9/2015).
Menurutnya, peningkatan retensi akan membuat para pemegang saham harus melakukan injeksi modal jika ingin tetap bersaing. "Akan terjadi seleksi alam," katanya.
Yasril memperkirakan setelah aturan ini berlaku akan terjadi pengelompokan bisnis. Dari lebih 80 perusahaan asuransi umum yang saat ini beroperasi maka perusahaan yang fokusnya menggarap bisnis dalam skala kecil akan bertransformasi menjadi asuransi syariah.
Perusahaan yang enggan menanggung risiko, katanya, akan mengubah dasar hukumnya menjadi industri penunjang seperti pialang.
Lebih lanjut, Yasril mengatakan dalam rancangannya kebijakan retensi itu juga didorong melakukan reasuransi ke reasuradur lokal dengan co-leader dari perusahaan joint venture maupun asing. Demikian juga dengan para pialang yang menjadi penghubung diharuskan tercatat dan berizin dari OJK serta Kementerian Keuangan.
"Ini bagi reasuransi asing [yang selama ini berbisnis di Indonesia] menjadi ancaman. Kalau mereka menempatkan reasuransi di lokal maka harus punya lisensi lokal. Maka sekarang kecenderungannya asing membuka perusahaan broker lokal," katanya.
Para pelaku bisnis asuransi skala global masih menunggu arah kebijakan OJK. Dia mengatakan izin broker ini untuk menunjang reasuransi asing masih diajukan. Selain itu, sambil menunggu izin keluar perusahaan asing ini menggandeng broker lokal.
Menurutnya, dengan kebijakan ini reasuransi menjadi industri yang paling menjanjikan. Apalagi di Indonesia baru ada empat perusahaan reasuransi dan satu dalam proses perizinan yakni Indonesia Re milik pemerintah.
Dia mengatakan akibat rancangan kebijakan ini banyak reasuransi asing menjajaki izin baru mengingat hanya perlu Rp200 miliar untuk mendirikan reasuransi, ataupun melakukan akuisisinperusahaan yang ada. Akan tetapi perusahaan reasuransi asing ini harus meyakinkan OJK bahwa kehadiran mereka dapat menahan defisit neraca jasa.
Debie Wijaya, Ketua Departemen Konferensi Internasional AAUI menuturkan kebijakan retensi menjadi perhatian serius reasuransi internasional yang memiliki bisnis di Indonesia. Para pelaku mengaku cemas dengan keberlanjutan bisnisnya di Indonesia.
"Indonesia negara ring of fire, potensi bencana besar. Kami pasti butuh reas ke luar," katanya.
Optimisitis
Di sisi lain, PT Reasuransi Indonesia Utama (Persero) optimistis dapat mendominasi hingga 90% perolehan porsi premi reasuransi di dalam negeri dengan dukungan permodalan yang signifikan dari pemerintah hingga 2019.
Frans Y. Sahusilawane, Direktur Utama Reasuransi Indonesia Utama (Indonesia Re), menturkan saat ini sekitar Rp23 triliun premi reasuransi diserap perusahaan reasuransi dari luar negeri. Jumlah itu, katanya, mencapai sekitar 70% dari porsi premi reasuransi nasional.
Menurutnya, nilai premi reasuransi yang akan mengalir ke luar negeri berpotensi meningkat hingga Rp64 triliun pada 2019 jika pelaku reasuransi dalam negeri tidak berbenah.
“Kalau tidak dilakukan apa-apa proyeksinya 2016-2019 nilai total mencapai Rp200-an triliun dengan defisit neraca pembayaran Rp60 triliun,” katanya di sela-sela rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR, Senin (21/9).
Untuk meningkatkan perolehan premi bagi reasuransi dalam negeri, kata Frans, BUMN reasuransi membutuhkan sokongan dana yang besar. Hingga 2019 pihaknya berencana mengajukan permohonnan bagi penyertaan modal negara (PMN) hingga Rp3,5 triliun, yakni Rp500 miliar pada tahun depan dan masing-masing Rp1 triliun pada tiga tahun berikutnya.
Apalagi, jelasnya, Indonesia Re merupakan gabungan dari tiga perusahaan reasuransi nasional yang memiliki pangsa pasar 66%. “Jika tanpa keterbatasan keuangan pemerintah, kami malah bisa secepatnya kita bisa tarik [premi reasuransi ke luar negeri] dari 70% menjadi hanya 10% atau 15%.”
Dengan dukungan PMN senilai Rp500 miliar pada 2016, Frans mengatakan pihaknya dapat menahan Rp6,5 triliun premi reasuransi di dalam negeri. Jumlah itu, katanya, meningkat dua kali lipat dari raihan premi saat ini.
Meskipun demikian, raihan tersebut tidak lebih dari 5% porsi premi reasuransi nasional pada tahun depan. “Mereka masih tetap besar,” kata Frans.
AAUI meyakini akan terjadi seleksi alam dalam industri jika aturan peningkatan retensi langsung diberlakukan.