Bisnis.com, JAKARTA – PT Pertamina (Persero) lebih memilih penurunan setoran dividen ketimbang pemberian penyertaan modal negara tahun depan untuk menutup kerugian sekitar Rp12 triliun akibat penjualan bahan bakar minyak jenis premium dan solar sejak awal 2015.
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Dwi Soetjipto mengatakan opsi pengirangan setoran dividen lebih bagus sebagai kompensasi atas penahanan harga bahan bakar minyak (BBM) di bawah harga keekonomiannya. Hasil evaluasinya, sampai Agustus, harga premium masih minus 2%.
“Penurunan dividen lah yang bagus. Ya kalau secara koorporasi kita berharap [penurunan sebesar kerugian Pertamina] boleh saja, tapi itu kan keputusan pemegang saham [pemerintah],” ujarnya ketika ditemui di kantor Kemenko Perekonomian, Jumat (2/10/2015).
Kendati demikian, pihaknya menyatakan tetap mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan negara akan penerimaan sebagai salah satu instrumen stimulus fiskal pengakselerasi laju produk domestik bruto (PDB). Seperti diketahui, tahun depan, setoran dividen perusahaan pelat merah disepakati pemerintah dan DPR senilai Rp34,16 triliun.
Angka itu naik dari usulan pemerintah dalam RAPBN 2016 senilai Rp31,16 triliun, tapi tetap turun 7,56% dari dari target tahun ini dalam APBNP 2015 senilai Rp36,96 triliun. Dari data Kementerian BUMN, dengan target awal senilai Rp31,16 triliun, setoran dividen Pertamina dipatok Rp6 triliun, turun tipis dibandingkan target tahun ini Rp6,35 triliun.
Dwi mengatakan penurunan dividen lebih realistis dieksekusi karena secara koorporasi, Pertamina masih memiliki laba walau berkurang. Sampai Agustus, laba perusahaanya sekitar US$840 juta.
Atas permintaan Presiden Joko Widodo kepada Pertamina untuk mengkaji peluang penurunan harga premium – yang akan masuk dalam bagian rancangan paket kebijakan ekonomi jilid III –, Dwi mengaku siap mengevaluasi dan mengkalkulasi ke peluang efisiensi dan penghematan yang bisa dilakukan.
Selama ini, lanjutnya, langkah efisiensi selalu dilakukan karena selalu ada ruang jika dicari lebih detil. Dia pun memahami tugas penyesuaian harga BBM memang menjadi salah satu amanat yang diberikan Pertamina. Menurutnya, sejauh secara corporate masih ada laba dan potensi untuk berkembang, dia menyatakan tidak masalah.
Kendati akan melihat peluang penurunan harga premium dan solar, mantan Direktur Utama PT Semen Indonesia Tbk ini mengaku ruang untuk solar lebih besar. Ruang tersebut, jelas dia, terkait dengan penggunaan solar yang langsung bersinggungan dengan aktivitas industri.
Seperti diketahui, harga BBM jenis premium yang sebenarnya berlaku saat ini hingga Desember 2015 senilai Rp7.400 per liter (Jamali) dan Rp7.300 per liter (luar Jamali). Sementara, untuk solar bersubsidi, harga dipatok Rp6.900 per liter.
“Mungkin solar itu yang memiliki opportunity lebih bisa kita tekan. Premium yang masih kita cari lagi. Pokoknya kita lihat dua-duanya, kita cari efisiensinya,” jelasnya.
Hasil kajian terkait penekanan harga, ungkapnya, akan disampaikan kepada pemerintah minggu depan. Kajian tidak hanya melihat posisi harga saat ini, tapi juga potensi harga ke depan.
Terpisah, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan pemerintah tetap kan mencari cara terkait keinginan Presiden untuk menurunkan harga BBM di tengah kondisi keuangan Pertamina saat ini.
Namun, dia menegaskan tidak akan ada penambahan atau suntikan anggaran kepada perusahaan pelat merah itu. Ketika ditanya terkait pengurangan dividen, dia enggan mengomentari lebih lanjut.
“Pokoknya Pertamina kami perhatikan tapi enggak ada anggaran, kan enggak ada subsidi [bagi premium],” tegasnya. Menurutnya, penurunan harga BBM jenis premium berpeluang meningkatkan daya beli masyarakat di tengah kondisi saat ini.