Bisnis.com, MALANG—Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus memonitor dampak pemberlakuan aturan loan to value bagi KPR rumah kedua dan seterusnya terhadap pertumbuhan bisnis properti.
Kepala Kantor OJK Malang Indra Krisna mengatakan pengurangan LTV dari 30% menjadi 20% itu mestinya menjadi ruang bagi penyaluran kredit pemilikan rumah (KPR) lebih lebar. Lagi pula LTV sebenarnya hanya berlaku bagi kepemilikan rumah kedua dan seterusnya.
“Tapi dari data penyaluran KPR sampai triwulan I/2016, pertumbuhan masih minus,” ujarnya dihubungi di Malang, Kamis (7/4/2016).
Indikator pokok perbankan di wilayah kerja Kantor OJK Malag sampai Februari 2016 menmyebutkan kredit realestate mencapai Rp755 miliar yang berarti minus 0,54% dibandingkan posisi Desember 2015 yang mencapai Rp759 miliar.
Secara tahunan, juga minus, yakni -6,14%. Posisi penyaluran kredit realestat sampai dengan Februari 2015 mencapai Rp804 miliar.
Menurut Indra, relaksasi terhadap LTV tidak bisa drastis karena khawatir sektor properti menjadi memanas sehingga terjadi bubble. Dampaknya, selain dikhawatirkan dapat meningkatkan angka rasio kredit macet, juga mendongkrak inflasi.
Namun dengan melihat sepinya bisnis properti, ketentuan LTV harus dicermati. Intinya, apakah LTV sebesar 20% masih ada ruang untuk diturunkan lagi ataukah sudah mencukupi untuk menggerakkan sektor properti.
“Perlu kita amati beberapa bulan ke depan. Pada triwulan I, biasanya bisnis properti memang trennya sepi. Permintaannya turun,” ujarnya.
Makhrus Sholeh, Ketua DPD Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Koordinator Wilayah Malang, mengakui sampai akhir triwulan I/2016, penyediaan rumah masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di wilayah Malang dan sekitarnya memang sangat berkurang.
Bahkan bisa disebut belum ada penambahan unit baru, apalagi pembukaan proyek baru. “Penyebabanya beragam, mulai dari permintaan yang lemah serta insentif bagi pengembang yang kurang,” katanya.
Dengan lemahnya permintaan, maka mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi masih belum tampak. Pelambatan ekonomi masih berlangsung.
Penyebab lainnya adalah minimnya insentif bagi pengembang. Harga rumah MBR yang dipatok Rp116,5 juta per unit itu sudah tidak relavan lagi dikaitkan dengan terus naiknya harga tanah.
Penaikan harga rumah tidak dapat dihindari agar pengembang bisa membebaskan tanah di perkotaan, setidaknya di daerah penyangga yang merupakan perbatasan antara kota-kabupaten.
Hal itu diperparah proses perizinan yang makin panjang. Perizinan tidak hanya berhenti di pemda, melainkan di tingkat lingkungan juga mensyaratkan pengembang mengajukan izin.
Padahal setiap meja perizinan berarti ada biaya yang harus dikeluarkan. Biaya perizinan menjadi mahal. (k24)