Bisnis.com, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan tiga peraturan (POJK) sebagai tindak lanjut dari Undang Undang Nomor 9' Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK), sehingga memberikan kejelasan dan ketegasan dalam penerapan kebijakan penanganan krisis di sektor keuangan.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Nelson Tampubolon menyampaikan bahwa penerapan status dan tindak lanjut pengawasan bank umum sebetulnya sudah ada di peraturan Bank Indonesia dahulu
“Peraturan seperti ini sudah ada dulu di peraturan Bank Indonesia cuma penetapannya peraturan yang dulu kami sempurnakan dalam peraturan OJK ini, peraturan lama tidak membedakan bank sistemik ataupun bank non sistemik,” ujarnya dalam acara konferensi pers sosialisasi UU PPKSK di Jakarta, Rabu (5/4).
Adapun, Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad menyampaikan bahwa UU PPKSK ini memberikan landasan hukum bagi OJK dam lembaha otoritas lain untuk menangani stabilitas sistem keuangan.
"UU PPKSK ini juga memberikan landasan hukum dmelakukan tindakan dalam upaya mengatasi permasalahan stabilitas sistem keuangan berdasarkan tugas dan kewenangannya," tuturnya.
Tiga POJK yang dikeluarkan itu adalah yang pertama, POJK tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum, yang kedua POJK tentang Bank Perantara; dan ketiga, POJK tentang Rencana Aksi (Recovery Plan) bagi Bank Sistemik.
1. POJK tentang Penetapan Status dan' Tindak Lanjut PengaWasan Bank Umum memuat aturan mengenai penanganan permasalahan bank, baik penanganan terhadap bank sistemik maupun penanganan terhadap bank selain bank sistemik.
Dalam ketentuan ini diatur bahwa status pengawasan bank terdiri dari 3 (tiga) tahap, yaitu pengawasan normal, pengawasan intensif, dan pengawasan khusus. Kaitannya dengan UU PPKSK, penanganan permasalahan solvabilitas bagi bank sistemik menjadi fokus penyempurnaan ketentuan ini, yaitu mengenai aktivasi implementasi rencana aksi (recovery plan), persiapan penanganan (early entry) permasalahan solvabilitas bank oleh LPS, dan mekanisme penyerahan bank yang tidak dapat disehatkan kepada LPS.
2. POJK tentang Bank Perantara memuat aturan mengenai prosedur pendirian bank perantara, mulai dari proses pendirian, operasional, dan pengakhiran Bank Perantara. Bank Perantara hanya dapat didirikan dari dimiliki oleh LPS. Keberadaan Bank Perantara membuka opsi penanganan permasalahan solvabilitas bank tidak hanya dilakukan dengan cara pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban bank bermasalah kepada bank penerima, penyertaan modal sementara, atau pencabutan izin usaha bank, namun juga dapat dilakukan dengan pendirian Bank Perantara yang digunakan Sebagai sarana resolusi untuk menerima aset dan/atau kewajiban yang mempunyai kualitas baik dari bank bermasalah.
3. POJK tentang Rencana Aksi (Recovery Plan) bagi Bank Sistemik memuat aturan mengenai keWajiban bank. sistemik . untuk mempersiapkan rencana dalam rangka mencegah dan mengatasi permasalahan keuangan yang mungkin terjadi di Bank Sistemik dengan cara menyusun suatu Rencana Aksi (Recovery Plan).
Dengan adanya Rencana Aksi (Recovery Plan) maka upaya-upaya penyelesaian permasalahan keuangan bank sudah dimulai sejak saat bank dalam kondisi normal namun terdapat masalah-siginifikan.
Salah satu hal penting yang perlu dicatat dari ketentuan ini adalah adanya aturan agar dalam Rencana Aksi (Recovery Plan) memuat kewajiban pemegang saham pengendali dan/atau pihak lain untuk menambah modal bank dan mengubah jenis utang tertentu menjadi modal bank.
Dengan adanya aturan ini maka bank sistemik akan berusaha menyelesaikan permasalahan keuangan dengan daya upayanya sendiri (bail-in) sesuai dengan Rencana Aksi (recovery plan) yang telah mereka susun.
Selanjutnya, dengan dikeluarkannya tiga POJK ini maka diharapkan dapat menjaga dan meningkatkan kepercayaan nasabah terhadap industri perbankan serta mewujudkan industri perbankan yang lebih sehat, mandiri dan kompetitif, dan berperan dalam menjaga stabilitas sistem keuangan di Indonesia.
Ketentuan ini memuat aturan mengenai penanganan permasalahan bank. baik penanganan terhadap bank sistemik maupun penanganan terhadap bank selain bank sistemik.
Dalam ketentuan ini diatur bahwa status pengawasan bank terdiri dari 3 (tiga) tahap, yaitu pengawasan normal, pengawasan intensif. dan pengawasan khusus. Terhadap status pengawasan intensif dan pengawasan khusus, diatur kriteria dan jangka waktu penetapan status pengawasan, yang diikuti dengan tindakan pengawasan yang wajib dilakukan oleh bank.
Bagi bank sistemik, dalam hal kondisi bank semakin memburuk dan memenuhi kriteria yang telah ditetapkan maka OJK akan meminta penyelenggaran Rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan untuk menetapkan langkah penanganan permasalahan bank sistemik.