Berita akhir-akhir ini menyebutkan Pemerintah menyatakan ada konglomerat yang membayar tebusan hingga Rp1 triliun di detik-detik terakhir pelaksanaan program pengampunan pajak atau tax amnesty.
Lantas, berapakah nilai harta yang diungkapkan dan ditebus oleh konglomerat tersebut?
Dalam aturan tax amnesty disebutkan bahwa besaran tebusan yang harus dibayar oleh wajib pajak di periode ketiga program ini adalah 5% dari harta yang dilaporkan jika harta tersebut dibawa ke Indonesia. Jika harta itu tetap berada di luar negeri, besaran tebusan yang harus dibayar sebesar 10%.
Dengan mengacu pada ketentuan tersebut, jika konglomerat itu membawa masuk hartanya ke Indonesia, maka harta yang dideklarasikan orang superkaya itu mencapai Rp 20 triliun.
Sementara itu, jika konglomerat itu tidak membawa masuk ke Indonesia, maka harta yang ditebus itu sebesar Rp 10 triliun.
Pertanyaan selanjutnya adalah siapakah konglomerat yang menyetorkan duitnya Rp1 triliun kepada dinas pajak tersebut? Tentu menemukan jawaban ini seperti menebak siapakah peserta tax amnesty yang berjumlah 1 juta orang dengan total harta yang di deklarasi sebesar Rp5.000 triliun.
Pertanyaan ini menjawab pertanyaan mengapa masyarakat umum Indonesia tetap masuk kelompok bawah. Karena ada dana Rp5.000 triliun yang tidak dibuka atau disembunyikan baik di dalam negeri maupun di luar. Bila dana tersebut tidak dibuka artinya juga lolos dari data pajak. Bagaimana pajak mau melacak penyetoran pajak bila datanya blank atau buta.
Jadi ada hak rakyat sebesar Rp165 triliun yaitu target tebusan pajak yang tidak dibayar, artinya kalau kita bagikan kepada hak masyarakat bawah itu sekitar Rp5 juta per orang termasuk kepada bayi-bayi, anak sekolah, kakek-nenek.
Disitu kadang saya merasa sedih. Mengapa sulit mengangkat masyarakat bawah Indonesia? Karena prinsip "pity" atau kasihan tidak cukup. Semuanya masyarakat golongan bawah, menengah dan atas harus terhubung dengan konglomerat teratas. Terhubung?
Ya betul. Bila masyarakat tidak terhubung, ya ibarat duitnya milik negara tetangga. Misal duitnya tax amnesty itu milik Timor Timur, atau Singapore, Bagaimana caranya bisa menghubungkan dengan masyarakat Indonesia? Kan tidak bisa.
Bagaimana caranya membangun hubungan dengan sumber kekuasaan tersebut? Prinsip dasarnya adalah seperti pertanyaan, diantara semua kucing di Indonesia, berapa yang dipelihara manusia? Berapa yang liar di jalanan? Nah bayangkan bagaimana rasanya kucing liar mencari makan. Tentu sulit bukan.
Ada teman saya yang adiknya membantu bekerja di perusahaan miliknya. Ternyata adiknya selalu ingin keluar mandiri. Sekilas kelihatan oke tetapi seharusnya spirit hubungan relationship seharusnya menjadi semakin dekat bukan menjauhi.
Jadi harus ada upaya atau pendidikan untuk semuanya menjalin ikatan relationship dengan sumber kekuasaan. Hubungan tersebut paling tidak diatur negara lewat pajak. Jadi harus ada rasa peduli masyarakat.
Bayangkan misalnya ada puluhan ribu penumpang antri di stasiun kereta Tanah abang. Bila satu sama lainnya tidak peduli, tidak terhubung, ada yang terjepit, ada yang tersundul, ada yang pingsan, ada yang tekanan darah rendah, ada yang belum minum, bagaimana rasanya. Tentu susah.
Kita tidak bisa mengatakan itu urusan sendiri, mereka yang terjepit, ada yang tersundul, ada yang pingsan, ada yang tekanan darah rendah, ada yang belum minum, tentu tak berdaya.
Setiap hari kita menggunakan Uber, kita mendapatkan diskon besar, paling tidak ada diskon Rp5.000-Rp8.000 setiap kali trip. Seharusnya kita yang memberikan tips tambahan kepada pengendara Uber, Gojek , dll.
Ada sejuta orang peserta tax amnesty, mereka minimum memiliki aset Rp5 miliar, jadi jangan disamakan dengan masyarakat bawah, golongan atas yang diutamakan dari system kapitalisme. Artinya kapital mereka bertumbuh, bertambah lebih cepat daripada masyarakat umum Indonesia.
*Penulis:
Goenardjoadi Goenawan
Konsultan dan motivator tentang paradigma baru tentang uang. Penulis 10 buku manajemen, termasuk "Rahasia Kaya, Jangan Cintai Uang" dan "Relationship Ikatan Pemekaran Berkah" yang segera terbit. Email: goenardjoadi @ gmail.com