“Jauh berbeda sekali saat ini dengan waktu itu. Pada 1998, saya masih jadi pialang obligasi, fixed income, di Citibank Singapura. Saya merasakan betul krisisnya seperti apa, rupiah yang anjlok pada saat itu.”
Kalimat tersebut dilontarkan Anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Fauzi Ichsan, terkait dengan potensi dampak depresiasi rupiah terhadap industri perbankan. Pada periode krisis moneter 1998, banyak bank terpaksa dilikuidasi.
Menurut Fauzi, kondisi saat ini sangat berbeda dibandingkan dengan 20 tahun lalu. Dengan mengacu kepada indikator sederhana, terlihat bahwa kondisi makroekonomi pada tahun ini jauh lebih baik dibandingkan dengan masa itu. Sistem regulasi dan lembaga pendukung sektor perbankan saat ini sudah jauh lebih menjalankan prudential banking.
Selain itu, menurut Fauzi, indikator lain yang dapat dijadikan acuan adalah kehadiran LPS sebagai otoritas resolusi bank gagal. Lembaga yang didirikan pada 2005 tersebut membuat nasabah tidak perlu panik dalam kondisi krisis, karena dana yang disimpan di bank dijamin oleh LPS selama memenuhi syarat yang ditetapkan.
Dia menuturkan pada September 1997, di bawah program International Monetary Fund [IMF], Bank Indonesia harus menutup 16 bank gagal. Program tersebut membuat masyarakat panik dan memilih mengambil dananya sebab tidak ada program penjaminan dari LPS seperti saat ini.
“Jadi panik lah masyarakat menarik dana mereka bank, makanya Bank Indonesia harus menyuntik Bantuan Likuiditas Bank Indonesia [BLBI], kalau ada LPS mungkin tidak akan sepelik itu,” katanya kepada Bisnis.
Baca Juga
Sebelum ada LPS, resolusi terhadap bank gagal dilakukan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang mengambil aset-aset busuk perbankan. Setelah itu, bank-bank yang dinyatakan gagal dinasionalisasi sebelum dijual kembali kepada investor strategis yang rata-rata merupakan investor asing.
“Misalnya Temasek beli Danamon sama BII [Bank International Indonesia], terus Khazanah dari Malaysia beli Niaga sama Lippo, Standard Chartered beli Bank Permata,” tambahnya.
Dengan pengalaman pahit tersebut, sektor perbankan Tanah Air terus merapatkan lini pertahanan agar tak terlalu rentan terhadap krisis di masa mendatang. Salah satunya dengan mendirikan LPS pada 2005, berselang satu tahun sejak pengesahan undang-undang LPS.
Pihak regulator juga terus berbenah dengan lebih ketat menjalankan fungsi pengawasannya terhadap perbankan. Batas Maksimum Pemberian Kredit [BMPK] yang acapkali dilanggar dalam periode yang disebut Fauzi sebagai ‘zaman jahiliyah’ tersebut dipatuhi dengan lebih baik oleh perbankan.
“Minim pelanggaran BMPK, bank lebih prudent dalam melakukan hedging. Pengawasnya juga melakukan reformasi, pengawas lebih prudent,” ujarnya.
Perbaikan tersebut mulai berdampak terhadap sektor perbankan dalam waktu singkat, bahkan sebelum LPS didirikan. Fauzi menerangkan, capital adequacy ratio (CAR) perbankan yang sempat mencapai minus 15,7% pada 1998 meningkat menjadi 21,6% pada tahun selanjutnya. Perbaikan juga terlihat pada rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) yang turun dari 48,6% ke 32,9%.
Perlahan-lahan sektor perbankan mulai sehat kembali. Hasilnya, saat krisis finansial global melanda pada 2008, perbankan Indonesia relatif lebih stabil dan kuat menghadapi hal tersebut. CAR pada saat itu mencapai 16,8%, sedangkan NPL pada level 3,2%.
“Sehingga waktu krisis 2008, di mana perbankan Eropa dan Amerika bangkrut, pemerintahnya menghabiskan lebih dari US$1 triliun untuk menyelamatkan sektor perbankan. Di Indonesia, hanya dua bank yang gagal, satu dilikudiasi oleh LPS, satu diselamatkan yakni Bank Century,” jelasnya.
Jika menilik indikator yang sama, yakni CAR dan NPL, Fauzi menyatakan per akhir Juli kedua rasio tersebut tercatat pada level 22,5% dan 2,7%. Selain itu, menurutnya, dari sisi profitabilitas, perbankan Indonesia juga relatif masih paling menguntungkan di Asia, bahkan di dunia, dilihat dari sisi net interest margin (NIM).
“Apa yang kita alami sekarang jauh lebih ringan dari apa yang sudah kita alami sebelumnya, NIM indonesia masih paling tinggi di Asia, bahkan di dunia,” ujarnya.
Dihubungi terpisah, Ketua Umum Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) yang juga Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. Maryono menyatakan kondisi perbankan dan fundamental ekonomi Indonesia saat ini jelas berbeda dengan 1998 yang menurutnya dalam kondisi yang rusak. Menurutnya, perbankan kini lebih berhati-hati dalam menjalankan bisnisnya dibandingkan dengan pada masa itu.
“Rusak pada saat itu, kehati-hatiannya sangat diragukan, jenis pembiayaan, pengikatan, kemudian visilibitas dan sebaginya, itu belum begitu ketat, BMPK banyak dilanggar,” ujarnya kepada Bisnis.
Dia menuturkan perbankan di Indonesia kini telah menjalankan fungsi manajemen risiko dan pengelolaan yang lebih baik. Menurutnya, pada masa krisis terdahulu bank-bank di Indonesia belum melakukan hal tersebut. Dengan demikian, meskipun terjadi depresiasi nilai tukar, sektor perbankan sudah lebih siap.
“Yang jelas perbankan pada 1998 dalam kondisi rusak, sekarang perbankan dalam kondisi sehat pada umumnya. Walaupun ada misalnya ada kenaikan mata uang dan sebagainya, kami [perbankan] sudah mengatur bagaimana menjaga bisnisnya, bahwa confidential, kehati-hatian, risk management, ini selalu dijaga,” jelasnya.
STANDAR INTERNASIONAL
Direktur Keuangan BTN Iman Nugroho Soeko menambahkan, aturan mengenai prudensial perbankan lebih ketat dengan mengadopsi ketentuan di negara maju seperti Basel I, II, dan III.
Selain itu, menurutnya bank saat ini lebih prudent dalam menjalankan bisnisnya, terutama dari sisi permodalan. “Bank lebih kuat dan prudent di area aturan kecukupan modal, kecukupan likuiditas, dan tata kelola penerapan good corporate governance,” katanya.
Sementara itu, Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk. Jahja Setiaatmadja mengatakan bahwa dari kacamata makroekonomi, kondisi saat ini jauh berbeda dengan 1998, kendati rupiah sama-sama mengalami depresiasi.
Selain itu, menurutnya, kehadiran lembaga penjaminan juga membuat psikologis nasabah lebih terjaga dengan baik. Nasabah tidak mudah panik dan bereaksi negatif terhadap depresiasi rupiah dengan menarik dana mereka di perbankan. “Dulu tidak ada LPS jadi nasabah mudah panik, kalau sekarang ada yang menjamin,” katanya.
Dihubungi terpisah, Direktur Riset Central of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menekankan salah satu pembeda era saat ini dan 1998 adalah lingkungan sistem kuangan dan sistem politik yang sudah lebih baik.
Pada periode kelam tersebut, lingkungan budaya korupsi begitu mengakar ke berbagai lini, termasuk sektor keuangan. Dia mengatakan bahwa sistem kapitalisme yang berlaku di Indonesia pada masa itu hanyalah kapitalisme semu.
Korporasi di Indonesia meningkatkan kapasitas bisnisnya dengan segala pelanggaran terhadap berbagai ketentuan. Perbankan dengan leluasa melanggar batas BMPK dan tidak mengatur pemberian kredit terhadap perusahan konglomerasi pemilik bank tersebut.
“Sehingga sebenarnya, perusahaan-perusahaan kita itu keropos. Hal ini sangat berperan dalam sistem keuangan kita, karena yang menjadi nasabah sistem keuangan kita adalah perusahaan-perusahaan ini,” katanya kepada Bisnis.
Selain dari sisi lingkungan sektor perbankan dan ekonomi, Piter menilai pembeda lainnya adalah tingkat profitabilitas bank yang masih cukup tinggi. Di samping itu, menurutnya sistem pendanaan dan pembiayaan perbankan saat ini sudah jauh lebih baik.
“Bank kita hampir semuanya dengan profit yang besar, kecuali mungkin di Bank Umum Kegiatan Usaha [BUKU] I. Jauh sekali perbedaannya, keuntungan bank kita itu jauh lebih tinggi dibandingkan dulu. Jadi dari semua yang sudah disebutkan perbedaan 97-98, dengan kondisi sekarang, menghadapi kemungkinan krisis, ketahanan sektor keuangan sudah jauh sekali bedanya,” jelasnya.