Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) masih menunggu implementasi Surat Keputusan Dirjen Haji 2018 mengenai ketentuan asuransi perjalanan syariah untu jemaah umrah.
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia Erwin Noekman mengatakan bahwa kontribusi premi asuransi perjalanan terhadap industri asuransi syariah masih kecil saat ini.
“Asuransi perjalanan syariah, masih relatif kecil dengan kisaran 1% saja dari total kontribusi (premi syariah),” kata Erwin kepada Bisnis, Minggu (18/11/2018).
Meski demikian dirinya optimistis kontribusi premi asuransi syariah akan meningkat di sisa tahun ini dan 2019, karena pemberlakuan SK Dirjen Haji 2018 yang mewajibkan setiap jamaah umrah memiliki asuransi syariah.
Erwin mengatakan berdasarkan catatan Kementerian Agama rata-rata jumlah jemaah umroh tiap tahun berkisar 800 .000 orang, Jika asumsi premi syariah yang dibayarkan sebesar Rp100.000 per jemaah, maka dalam setahun perolehan premi industri asuransi syariah bertambah sebesar Rp80 miliar.
Selain itu, lanjutnya, pertumbuhan pendapatan premi asuransi perjalanan syariah di akhir tahun terjadi karena fenomena musim umroh jemaah Indonesia. Musim umroh di Indonesia terjadi setahun dua kali. Pertama, saat bulan Ramadan. Kedua, di akhir tahun.
Baca Juga
“Karena relatif di akhir tahun suhu udara di Saudi jauh lebih sejuk dengan kisaran 0°C di kota Madinah. Bahkan di wilayah Tabuk bisa turun salju, sedangkan Ramadan orang berpikir untuk menghabiskan waktu puasa di tanah suci,” kata Erwin.
Erwin menuturkan gejolak ekonomi yang terjadi saat ini, tidak berpengaruh terhadap minat jemaah untuk melaksanakan ibadah umroh, karena perubahan gaya hidup masyarakat, dimana tujuan orang pergi umrah selain untuk ibadah juga untuk wisata timur tengah.
“Faktor lain, karena waktu menunggu untuk ibadah haji lama, sehingga jemaah memilih untuk umroh terlebih dahulu,” kata Erwin.
Harapan Asosiasi Asuransi Syariah
Ketua Umum Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia Ahmad Syaroni berharap agar SK Dirjen Haji segera direalisasikan. Menurut dia, sudah seharusnya sebuah wisata halal memiliki asuransi berplatform halal atau syariah. Selain untuk mendorong pertumbuhan industri asuransi syariah, juga melengkapi sebuah rangkaian ibadah.
Salah satu tantangan yang dihadapi dalam merealisasikan hal ini adalah beberapa perusahaan travel umroh masih memberangkatkan jemaah tanpa memasukan mereka ke asuransi syariah terlebih dahulu.
“Jadi kalau bicara soal wisata halal, perjalanannya di lindungi dengan asuransi yang halal, makanannya halal, obyeknya halal, semuanya properti dilindungi asuransi yang halal, jadi itukan rangkaian,” kata Syaroni.
Upaya lain yang dapat dilakukan pemerintah untuk melancarkan laju industri syariah adalah pemberian insentif kepada para pelaku usaha asuransi syariah.
Syariah yang memiliki kewajiban sama dengan perusahaan asuransi konvesional, masih diwajibkan membayar zakat. Untuk mengurangi beban ini, Syaroni berharap pemerintah dapat memberi insentif tambahan untuk menutupi biaya yang dikeluarakan.
“Paling tidak ada sedikit lebih fair antara syariah dan konvensional. Insentifkan, supaya ada investor mau masuk ke syariah, ini kan untuk merangsang supaya industri ini tumbuh,” kata Syaroni.
Dijelaskan, pengelolaan premi di syariah berbeda dengan konvesional. Jika di konvesional, tambahnya, premi berubah menjadi pendapatan, di syariah pendapatan hanya berasal dari ujroh. Adapun premi yang masuk digunakan sebagai dana kontribusi untuk membantu nasabah syariah yang lain.
Ujroh adalah imbalan yang diberikan nasabah kepada perusahaan asuransi, sebagai bentuk pertukaran atas manfaat yang diberikan oleh pemberi jasa dalam akad.
“Kalau di konvesional langsung growth, kalau di syariah enggak secepat itu jadi melandai, memang secaa investasi akan stabil, tapi orang kan maunya habis investasi hasilnya langsung keluar,” ujarnya.