Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Cari Celah Himpun Dana Nasabah Bank

Bisnis.com, JAKARTA — Likuiditas menjadi satu hal yang menjadi perhatian sepanjang 2018. Di tengah laju penyaluran kredit yang mencapai dua digit, dana pihak ketiga (DPK) tidak mampu mengikuti.
Karyawan menata uang untuk pengisian ATM, di Cash Center PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI), Jakarta, Kamis (20/12/2018)./Bisnis-Abdullah Azzam
Karyawan menata uang untuk pengisian ATM, di Cash Center PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI), Jakarta, Kamis (20/12/2018)./Bisnis-Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA  — Likuiditas menjadi satu hal yang menjadi perhatian sepanjang 2018. Di tengah laju penyaluran kredit yang mencapai dua digit, dana pihak ketiga (DPK) tidak mampu mengikuti.

Mengetatnya likuiditas di antaranya tercermin dari naiknya angka rasio kredit terhadap simpanan (loan to deposit ratio/LDR). Pada kuartal ketiga 2018, LDR industri perbankan sempat menyentuh 94,09%. Padahal sepanjang 2017, LDR tidak pernah melampaui batas atas yang ditetapkan regulator yakni 92%.

Likuiditas mulai membaik menjelang akhir tahun. Memasuki kuartal keempat, dana nasabah naik 7,3% secara tahunan (year-on-year/yoy). Sebelumnya, pertumbuhan DPK stagnan pada kisaran 6% yoy.

Tren positif ini pun mulai berpengaruh terhadap likuiditas perbankan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat rasio LDR perbankan per November sebesar 92,5% atau mendekati batas normal.

Otoritas optimistis tahun akan ditutup dengan pertumbuhan DPK 8%—9%. Kendati lebih baik dibandingkan dengan kondisi hingga kuartal III/2018, tetapi angka tersebut masih terpaut sekitar 400 bps dengan pertumbuhan kredit yang akhir tahun 2018 diproyeksi mencapai 13% secara tahunan.

Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU) III tercatat memiliki pekerjaan rumah paling banyak sebelum menutup buku mengakhiri 2018. Pada Oktober 2018, rasio LDR bank bermodal inti Rp5 triliun hingga Rp30 triliun ini masih di atas 100%.

Otoritas sempat meminta bank untuk memacu penghimpunan dana alternatif guna menjaga likuiditas tetap aman. Dana alternatif dapat diakses melalui penerbitan surat berharga, pinjaman, dan sertifikat deposito.

Selain itu, ada hal lain yang juga mampu menggenjot penghimpunan dana nasabah, yakni strategi digitalisasi. Menurut otoritas, implementasi teknologi terkini bukan hanya menjanjikan efisiensi, tetapi juga akan meningkatkan likuiditas perbankan. Dana murah akan meningkat seiring dengan masifnya implementasi dompet elektronik yang memanfaatkan teknologi kode QR (quick response).

Direktur Keuangan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Anggoro Eko Cahyo mengatakan bahwa dalam jangka panjang pemanfaatan kode QR untuk sistem pembayaran akan berpengaruh kepada neraca keuangan. Selain menambah pendapatan nonbunga, DPK juga akan terkerek naik. “Tapi itu masih belum menjadi konsentrasi sekarang,” kata Anggoro.

DOMPET ELEKTRONIK

Sejumlah perusahaan nonbank sudah lebih dahulu memanfaatkan dompet elektronik. Gerai kopi Starbucks dan jasa transportasi dalam jaringan Go-Jek beberapa waktu ini menawarkan berbagai promo untuk pembayaran nontunai.

Syarif Hidayatullah, seorang karyawan swasta berumur 28 tahun, misalnya, mengaku tidak mengandalkan Go-Jek sebagai penyedia jasa transportasi. Akan tetapi setiap bulan dia secara rutin mengalokasikan Rp200.000 untuk mengisi saldo dompet elektronik Go-Jek bernama Go-Pay. Sementara itu kartu Starbucks yang dia miliki setidaknya memiliki saldo Rp100.000 sampai dengan Rp200.000 setiap bulan.

“Itu uang standby karena setiap bulan ada saja promo untuk beli makanan atau ngopi,” jelas Syarif. 

Berdasarkan catatan bank sentral, pengguna dompet elektronik hanya aktif menggunakan sekitar 25%—30% dari total dana yang tersimpan. Sisa dana yang mengendap tersebut jumlahnya pun terus naik, dengan capaian lebih dari 100% per tahun.

Dari temuan itu bank sentral mengatur bahwa bank penerbit dompet elektrnoik di luar BUKU IV dan lembaga selain bank wajib menyimpan 30% dana tersebut di giro bank BUKU IV. Dengan demikian bank bermodal inti lebih dari Rp30 triliun akan mendapatkan dana murah tambahan seiring bertambahnya popularitas pembayaran non tunai.

Melihat data itu tidak heran banyak bank berlomba meluncurkan layanan pembayaran nontunai. Namun menurut ekonom PT Bank Central Asia Tbk. David E. Sumual hal itu belum akan signifikan memberikan dampak bagi BUKU III, karena tercatat baru BUKU IV yang antusias menyambut teknologi kode QR. Bisa jadi hal ini erat kaitannya dengan ketersediaan modal.

BCA menyebut pengembangan sistem pembayaran berbasi kode QR membutuhkan banyak modal. Perseroan pada 2019 mengalokasikan anggaran Rp5,2 triliun untuk belanja pengembangan informasi dan teknologi (IT), naik lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan tahun lalu. Sekitar Rp1,5 triliun di antaranya untuk pengembangan kode QR yang diluncurkan tahun lalu.

Hal serupa juga dilakukan oleh bank milik negara. BNI dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. yang akan menaikan belanja IT tahun ini hingga 10% dan 20% dibandingkan dengan anggaran 2018.

Di luar itu semua, ada pekerjaan rumah yang belum memiliki jawaban.Satu sisi bank memiliki celah baru menghimpun dana nasabah dan pada sisi lain konsumen memiliki banyak opsi untuk ikut mendukung gerakan nontunai Bank Indonesia.

Dompet elektronik dan uang elektronik  sudah sepatutnya hadir untuk memberikan kemudahan. Namun jangan sampai persaingan pasar justru membuat konsumen dirugikan karena harus mengalokasikan dana mengendap pada berbagai layanan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper