Bisnis.com, HONG KONG – Kerja sama pelaku industri financial technology atau fintech antarkawasan diharapkan bakal menjadi katalis dalam menunjang pertumbuhan sektor ini secara global.
Mohammad Ridzuan Abdul Aziz, Presiden Asosiasi Fintech Malaysia mengatakan, kerja sama dapat dilakukan melalui sejumlah bidang antara lain sumber daya manusia, pendanaan, pemasaran, hingga regulasi.
Adapun kerja sama dalam bidang sumber daya manusia, katanya, akan lebih mudah diimplementasikan dan berdampak cepat.
“Ketersediaan sumber daya manusia di berbagai wilayah akan menciptakan peluang, karena bisa membantu fintech dalam menurunkan biaya,” ujarnya dalam diskusi fintech yang digelar sebagai rangkaian Asian Financial Forum 2019 di Hong Kong, Selasa (15/1/2018).
Menurutnya, kerja sama akan semakin baik jika lebih banyak negara yang terlibat. Dia tidak menampik, kerja sama dalam bidang regulasi masih menghadapi tantangan besar karena sulit untuk menyelaraskan aturan dari berbagai negara.
Hal tersebut diamini Presiden Asosiasi Fintech Singapura Chia Hock Lai. Dia menilai tingkat pengalaman yang berbeda masing-masing negara di sektor keuangan menjadi salah satu pemicunya. Kendati demikian dia menyatakan sejumlah inisiasi sudah dilakukan, salah satunya ialah peluncuran marketplace untuk menjembatani pelaku usaha fintech dengan institusi keuangan se-Asia.
Baca Juga
Komisioner Asosiasi Fintech Jepang Takeshi Kito mengatakan, perlu investasi jangka panjang untuk menunjang pertumbuhan fintech.
“Dalam tiga tahun terakhir kami fokus di domestik, tetapi ke depan kami akan lebih terbuka dengan mitra di kawasan Asia Pasifik.”
Menandai kerja sama antarpelaku fintech di Asia, kemarin juga telah ditandatangani nota kesepahaman Asia Pacific Network oleh sejumlah asosiasi fintech antara lain Hong Kong, Jepang, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, dan Taiwan. Jaringan itu akan diperluas dengnan merangkul lebih banyak negara lain.
Konsolidasi
Eddi Danusaputro, Direktur Utama Mandiri Capital Indonesia mengatakan perkembangan fintech di Indonesia cukup menjanjikan, khususnya untuk subsektor peer to peer (P2P) lending dan pembayaran.
Menurutnya, tantangan utama yang dihadapi pelaku fintech saat ini tak hanya soal dana, melainkan juga pemahanan pengguna layanan yang dituju. Apalagi, saat ini fintech khususnya di sektor P2P, sedang diterpa masalah lantaran munculnya perusahaan ilegal.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan hingga 12 Desember jumlah penyelenggara P2P lending berizin telah mencapai 78 penyelenggara. OJK pun telah mengimbau masyarakat untuk waspada.
OJK bahkan melarang penyelenggara P2P legal mengakses daftar kontak, berkas gambar dan informasi pribadi dari ponsel pintar pengguna P2P serta wajib memenuhi seluruh ketentuan POJK 77/2016 dan POJK 18/2018 mengenai Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
“Itulah mengapa pemahaman masyarakat juga sangat penting,” kata Eddi.
Kendati demikian berharap regulator tidak serta-merta menerapkan aturan yang ketat bagi industri yang masih muda seperti fintech. Apa yang dilakukan Bank Indonesia dan OJK dengan menggagas regulatory sandbox, kata Eddi, merupakan langkah yang bagus dalam mendukung industri fintech.
Apalagi konsolidasi antara perusahaan rintisan alias startup diperkirakan bakal semakin masif pada tahun ini. Sejumlah perusahaan rintisan besar berstatus unicorn maupun calon unicorn sudah memulai konsolidasi sejak tahun lalu.
“Kita bisa melihat apa yang dilakukan Gojek, Grab atau yang lainnya mereka banyak mengakuisisi perusahaan-perusahaan baru. Tentu yang diharapkan entah basis pelanggannya atau teknologinya,” ujarnya di sela-sela Asian Financial Forum 2019.
Kendati demikian, Mandiri Capital Indonesia (MCI) tidak akan terlalu agresif menyalurkan investasi pada tahun ini lantaran perlu memperhatikan permodalan perusahaan rintisan yang sudah disuntik dana dalam 3 tahun terakhir.
Dotargetkan MCI dapat menyalurkan investasi senilai Rp100 miliar untuk tiga atau empat perusahaan rintisan pada tahun ini. Sejauh ini MCI sudah menggelontorkan dana senilai Rp350 miliar untuk 10 perusahaan rintisan.
Berdasarkan data OJK hingga Oktober 2018 akumulasi pinjaman dari fintech P2P telah mencapai Rp15,9 triliun dengan rasio pinjaman lancar 96,73%, tidak lancar 2,07%, dan macet 1,2%.