Bisnis.com, JAKARTA – Tahun lalu kinerja perkreditan perbankan Indonesia lumayan baik. Ini ditandai dengan pertumbuhan kredit yang mencapai 11,75% secara tahunan (year on year/yoy), lebih tinggi ketimbang 2017 yang tumbuh 8,2% (yoy).
Selain cukup tinggi, penyaluran kredit juga berkualitas, terlihat dari rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) yang tetap terjaga rendah yaitu 2,4% (gross) atau 1,0% (net).
Meski demikian, pertumbuhan kredit tersebut belum begitu kuat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi ke level yang lebih tinggi. Perbankan sepertinya masih harus terus didorong untuk menggelontorkan kredit lebih banyak lagi.
Ada beberapa alasannya. Pertama, kondisi likuiditas perbankan masih cukup mendukung. Ini terlihat dari rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) per Desember 2018 yang cukup tinggi mencapai 19,3%.
Meskipun dibayang-banyangi rasio kredit terhadap DPK (Loan to Deposit Ratio/LDR) yang telah mencapai 94,04% tetapi bila melihat tren LDR selama satu dekade ke belakang, level LDR yang berada di atas 92% tersebut baru terjadi di 2018 saja.
Artinya, selama 9 tahun perbankan sejatinya menumpuk likuiditas. Selain itu perbankan cukup rajin menggalang dana dari non DPK (wholesale funding) seperti menerbitkan surat berharga dan mengambil pinjaman dari pihak lain, termasuk utang luar negeri. Belum lagi perolehan laba yang dapat disalurkan kembali ke kredit semakin menguatkan kemampuan bank untuk menyalurkan kredit.
Kedua, permodalan bank yang tinggi. Hal ini tercermin dari rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) perbankan yang mencapai 22,9% per Desember 2018. Tingginya CAR bank menunjukkan kemampuan bank dalam menjaga suplai kredit dan peran yang kuat dari modal untuk menyerap potensi kerugian yang timbul dari aktivitas perkreditan.
Tingginya modal perbankan juga menunjukkan perbankan makin resiliens terhadap gonjangan ekonomi.
Ketiga, adanya dukungan Bank Indonesia (BI) dalam penyediaan likuiditas. Dengan demikian bank tidak perlu khawatir dengan kebutuhan likuiditas yang mendesak, terutama likuiditas jangka pendek. Bentuk dukungan itu di antaranya dengan melakukan relaksasi ketentuan terkait likuiditas bank seperti GWM rata-rata (Averaging) dan Rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM). Terakhir pada Januari 2019, BI telah aktif melakukan lelang term repo dan forex swap secara reguler. Jadwal beberapa bulan ke depan pun telah dirilis.
Namun semua itu sepertinya belum cukup. Perbankan masih perlu diberikan insentif yang ditujukan untuk memperbesar kapasitas pemberian kreditnya. Bentuk insentif tersebut dapat berupa pelonggaran setidaknya terhadap dua ketentuan. Pertama, ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK). BMPK ini merupakan ketentuan yang membatasi terkonsentrasinya penyaluran kredit pada grup atau individu tertentu.
Oleh karena itu, supaya risiko tetap terjaga aman, relaksasi yang dapat diberikan harus terukur dan terbatas, yaitu hanya ditujukan pada sektor tertentu yang masih menjanjikan keuntungan dengan risiko yang terjaga.
Misalnya pada sektor infrastruktur yang membiayai proyek pemerintah karena implisit ada jaminan di sana Selain itu, bank yang memperoleh relaksasi ini adalah bank yang berada dalam kategori sehat, tercermin dari peringkat kompositnya minimal baik, serta bank yang pengelolaan risiko kreditnya dinilai kuat, setidaknya tercermin dari rasio NPL yang rendah.
Hal yang penting pula menyangkut besaran relaksasi rasio BMPKnya tidak terlalu tinggi, misalnya dinaikkan sebanyak 5% atau 10% saja.
Sudah barang tentu relaksasi ini bersifat temporer. Artinya, bila pertumbuhan kredit pada sektor tertentu yang direlaksasi BMPKnya menunjukkan tanda-tanda telah eksesif maka BMPK-nya dapat diketatkan kembali.
Jadi, aturan BMPK ini lebih bersifat countercyclical, sehingga harus ada parameter tertentu yang dipakai untuk menentukan kapan BMPK diketatkan dan dilonggarkan.
Kalau sudah begini maka BMPK yang merupakan ketentuan mikroprudensial tetapi bercita rasa makroprudensial.
Regulasi kedua yang barangkali baik untuk direlaksasi agar kapasitas pemberian kredit perbankan membesar adalah Rasio Pendanaan Stabil Bersih (Net Stabil Funding Ratio/NSFR). Ketentuan ini bertujuan untuk mengurangi risiko likuiditas yang bersumber dari ketidaksesuaian tenor (maturity mismatch) antara sisi aset (kredit) yang berjangka waktu panjang dan kewajiban (DPK) yang berjangka waktu pendek.
Dengan aturan itu, bank wajib menyediakan dana yang stabil terlebih dahulu sebelum menyalurkannya ke kredit. Dana stabil itu umumnya adalah dana-dana yang berjangka panjang seperti penerbitan surat berharga atau mengambil utang luar negeri.
Adapun bentuk relaksasi yang dapat diberikan bisa dalam bentuk penurunan kewajiban memelihara rasio NSFR dari paling kurang 100% menjadi 90% misalnya. Atau perubahan persentase komponen dalam perhitungan rasio NSFR. Misalnya simpanan kurang stabil yang berasal dari perseorangan dibobot sebesar 90%, ditingkatkan menjadi 95%.
Relaksasi NSFR ini sejalan dengan studi empiris King (2013) yang menunjukkan bahwa salah satu upaya bank untuk memenuhi rasio NSFR adalah dengan mengurangi aset kreditnya, sehingga permintaan akan dana stabil untuk membiayai kredit tersebut menjadi berkurang.
Imbasnya, bank cenderung akan meningkatkan dananya ke aset surat berharga. Hasil studi empiris King (2013) juga memperlihatkan adanya dampak pemenuhan NSFR pada penurunan pendapatan bunga bersih (Net Interest Margin).
Tentu penurunan rasio NSFR akan meningkatkan risiko likuiditas yang bersumber dari maturity mismatch. Namun kebutuhan likuiditas bank jangka pendek akan dapat dimitigasi melalui relaksasi ketentuan BI tersebut di atas. Dengan demikian ketika ada kebutuhan likuiditas yang mendesak, bank dapat merepokan Surat Berharga Negara yang dimiliki atau memanfaatkan saldo GWM rerata yang ada di BI.
Peran Bank Pemerintah
Selain melalui relaksasi ketentuan, upaya memacu kredit dapat dilakukan dengan himbauan moral (moral suasion), yakni meminta bank-bank milik pemerintah pusat (bank persero) dan pemerintah daerah (Bank Pembangunan Daerah/BPD) untuk meningkatkan penyaluran kreditnya. Karena bagaimanapun bank milik pemerintah itu selain bermotifkan laba, juga tidak bisa dilepaskan statusnya selaku BUMN atau BUMD yang berperan sebagai agen pembangunan.
Terlebih, studi empiris Brei dan Schclarek (2013) menunjukkan bahwa bank milik negara bersifat less procyclical ketimbang kelompok bank lainnya. Selain itu, dibanyak negara, pemerintah memang mengandalkan bank miliknya.
Bahkan studi Chen et al. (2016) menyebutkan bahwa penyaluran kredit bank milik pemerintah dapat menjadi alternatif kebijakan dalam menangani krisis sepanjang tetap dilakukan dengan hati-hati.
Dalam bahasa makroprudensial, bank pemerintah memerankan fungsi sebagai countercyclical dalam sistem perbankan, dimana pada kondisi ekonomi yang menurun, kredit milik bank pemerintah tumbuh tinggi dibandingkan dengan kelompok bank milik non pemerintah yang cenderung menurun atau rendah.
*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Senin (8/4/2019)