Bisnis.com, YOGYAKARTA — Gejala post-truth atau pasca kebenaran dinilai menjadi masalah cukup serius yang dihadapi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan, terlebih saat isu penyesuaian iuran mencuat.
Saat memberikan sambutan dalam gelaran Malam Anugerah Lomba Karya Jurnalistik 2019, Rabu (23/10/2019), Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menyinggung soal post-truth, sesuatu yang jarang dia bahas terkait asuransi sosial tersebut.
Fachmi menjelaskan bahwa akhir-akhir ini gejala post-truth mengenai BPJS Kesehatan terus berkembang. Hal tersebut menurutnya kian meresahkan karena menimbulkan pertentangan persepsi publik mengenai BPJS Kesehatan.
Misalnya, saat pemerintah hendak melakukan penyesuaian iuran, berita mengenai rencana itu pun muncul di media dan kemudian tersebar di media sosial.
Gejala post-truth muncul karena beban dari penyesuaian tersebut terus menjadi sorotan masyarakat, alih-alih alasan usulan tersebut muncul.
"Post truth-nya bisa juga disampaikan [bahwa] pemerintah tidak memperhatikan masyarakat miskin, penyesuaian iuran akan menyusahkan masyarakat. Berawal dari framing, menjadi persepsi masyarakat," ujar Fachmi.
Baca Juga
Dia menjelaskan bahwa BPJS Kesehatan bersama kementerian-kementerian terkait bertanggung jawab atas penyesuaian iuran tersebut. Menurutnya, pemerintah hadir menanggung beban kenaikan iuran tersebut, khususnya bagi peserta segmen Penerima Bantuan Iuran (PBI).
"Yang perlu sama-sama kita sampaikan bahwa tidak ada hubungan antara kenaikan iuran dengan beban masyarkat miskin yang tidak mampu, karena itu dibayarkan pemerintah. Tapi berita yang tersebar seakan-akan pemerintah tidak hadir," tambahnya.
Gejala post-truth lainnya yang terjadi, menurut Fahmi, adalah seolah-olah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menolak usulan penyesuaian iuran. Padahal, DPR sebenarnya memberikan syarat bahwa pemadanan data (data cleansing) peserta harus tuntas terlebih dahulu, baru penyesuaian iuran dapat diberlakukan.
Lalu, isu lain yang muncul adalah penyesuaian iuran dapat mengurangi daya beli buruh, karena batas atas kenaikan upah meningkat dari Rp8 juta menjadi Rp12 juta. Padahal, menurut Fachmi, hanya 3% peserta BPJS Kesehatan yang terdampak oleh kebijakan batas atas tersebut.
"Kami punya data, ternyata pengaruhnya tidak banyak, tidak sebagaimana diberitakan bahwa kenaikan iuran ini akan berpengaruh terhadap daya beli buruh," ujar Fachmi.
Gejala terakhir menurutnya adalah pandangan mengenai kenaikan iuran yang mencapai dua kali lipat. Hal tersebut menurutnya tidak akan menjadi momok jika masyarakat menyadari bahwa penyesuaian iuran tertinggi setara dengan menyisihkan uang Rp5.000 per hari.
"Tentang iuran naik 100% dari Rp80.000 menjadi Rp160.000, itu seram kedengarannya. Padahal kalau bicara tentang dana ini kan sebetulnya dari menyisihkan uang Rp3.000 per hari menjadi Rp5.000 per hari, kalau narasinya seperti itu sebetulnya tidak seram," tambah Fachmi.
Dia menjelaskan bahwa pergeseran dari truth menjadi post-truth dapat diseimbangi dengan berita-berita yang objektif serta memuat penjelasan yang baik mengenai BPJS Kesehatan dan seluk-beluknya. Dia pun berharap gejala post-truth tersebut dapat mereda agar rencana penyesuaian iuran tidak terkendala.
Fachmi pun menilai bahwa media memiliki andil besar dalam meredam dan bahkan mengembangkan gejala post-truth tersebut. Dia berharap agar media dapat terus menjaga kualitas pemberitaannya, termasuk mengimbangi narasi miring dari persebaran informasi yang masif di media sosial.
"Tentu kecepatan [pemberitaan] menjadi penting sekarang, tapi keakuratan jauh lebih penting," ujar Fachmi.
Post-truth menjadi ramai diperbincangkan saat istilah tersebut masuk ke dalam Kamus Oxford pada 2016. Istilah itu memiliki makna dikaburkannya publik dari fakta-fakta objektif.