Bisnis.com, JAKARTA - Kredit segmen modal kerja atau KMK diproyeksi masih akan menunjukkan pertumbuhan positif pada 2020, meski perlambatan kredit dan ketidakpastian ekonomi global masih akan berlanjut.
Rektor Universitas Indonesia Ari Kuncoro memperkirakan meredanya perang dagang pada 2020 akan meningkatkan permintaan kredit pada industri perbankan, termasuk segmen modal kerja.
"KMK masih akan jalan, kita lihat sektor pergudangan ke depan akan naik, tidak terlalu bermasalah, biarpun bunga tinggi tapi karena perputarannya cepat jadi tidak terlalu bermasalah. Berbeda dengan [kredit] investasi karena jangka panjang dengan bunga mahal maka akan tidak kompetitif," katanya kepada Bisnis, Senin (9/12/2019).
Bank Indonesia mencatat KMK mengalami perlambatan pertumbuhan, yakni dari 6,1% secara tahunan (year-on-year/yoy) per September 2019 menjadi 4,1% yoy per Oktober 2019.
Perlambatan tersebut utamanya dipengaruhi oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran (PHR), serta sektor industri pengolahan.
Adapun, KMK sektor PHR melambat dari 4,9% yoy pada September 2019 menjadi 3,9% yoy pada Oktober 2019. Sementara KMK ke sektor industri pengolahan mengalami perlambatan dari 7,2% yoy per September 2019 menjadi 3,8% yoy per Oktober 2019.
Ari menuturkan, sektor manufaktur masih akan menjadi penopang KMK pada tahun depan. Namun, untuk sementara ini, sektor manufaktur masih menunjukkan perlambatan. Selama sektor manufaktur melambat, maka KMK juga akan tumbuh melambat.
Direktur Riset Center of Reform on Economy (CORE) Piter Abdullah menilai pada umumnya peningkatan investasi akan membutuhkan modal kerja dan besar kemungkinannya akan mendorong kredit modal kerja yang lebih tinggi.
Namun, tren pada tahun ini pertumbuhan kredit investasi tidak diikuti oleh pertumbuhan yang juga tinggi di kredit modal kerja.
"Untuk tahun depan, kita berharap semua kemudahan yang diberikan oleh pemerintah khususnya yang tertuang dalam omnibus law akan berdampak positif terhadap investasi langsung luar negeri [foreign direct investment/FDI]," kata Piter.
Namun menurut Piter, untuk mendorong pertumbuhan kredit modal kerja tidak hanya ditentukan oleh masuknya FDI, melainkan juga konsumsi rumah tangga yang lebih tinggi yang akan memacu pertumbuhan produksi dan kebutuhan modal kerja yang lebih besar.
Di samping itu, imbuhnya, kebijakan pemerintah di bidang perpajakan khususnya terkait pajak penghasilan perseorangan juga dibutuhkan untuk meningkatkan pertumbuhan konsumsi rumah tangga.