Bisnis.com, JAKARTA - PT Bank CIMB Niaga Tbk. menduga tingginya rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) penerusan kredit (channeling kredit) industri perbankan diakibatkan salah satunya karena perusahaan teknologi finansial (tekfin).
Direktur Konsumer CIMB Niaga Lani Darmawan mengatakan, tingginya rasio NPL penerusan kredit sebenarnya dapat dianggap wajar. Syaratnya, rasio NPL yang tinggi harus diikuti dengan margin lebar antara bunga dan jumlah pokok pembiayaan yang diteruskan.
“NPL market bisa jadi besar, tetapi jika margin tinggi secara profitabilitas masih bagus. Mungkin saja [tingginya NPL penerusan kredit perbankan] karena fintech,” ujar Lani kepada Bisnis, Minggu (22/12).
Menurut Lani, saat ini portofolio penerusan kredit CIMB Niaga masih kecil. Rendahnya angka penerusan kredit ini tecermin dari tidak adanya catatan baki tersebut di laporan keuangan perseroan per kuartal III/2019.
Kecilnya penerusan kredit CIMB Niaga terjadi karena bank swasta ini selektif menjalani bisnis channeling kredit. “Karena memang sangat selektif dan relatif tidak besar,” tuturnya.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), nilai penerusan kredit pada kuartal III/2019 tercatat Rp14,02 triliun atau tumbuh 20,24% (year-on-year/yoy). Meski tumbuh, nilai penerusan kredit masih lebih rendah dibandingkan dengan 2016 yang mencapai Rp23,06 triliun.
Kualitas penerusan kredit juga terpantau tidak begitu dapat diharapkan. Rasio NPL credit channeling mencapai 58,42%, turun dari periode sama tahun lalu 72,30%.