Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Iuran BPJS Kesehatan Batal Naik, Nasdem Ingatkan Bahaya Defisit

Sejumlah pembenahan menyeluruh dibutuhkan dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan nasional agar program tidak berakhir dengan kegagalan.
Calon pasien menunggu antrean di RSUD Jati Padang, Jakarta, Senin (7/1/2019)./ANTARA-Aprillio Akbar
Calon pasien menunggu antrean di RSUD Jati Padang, Jakarta, Senin (7/1/2019)./ANTARA-Aprillio Akbar

Bisnis.com, JAKARTA - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan diingatkan tetap memberikan pelayanan prima kepada masyarakat meski iuran yang diusulkan batal naik. 

Politis Partai Nasdem yang juga Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 2014-2019, Irma Suryani Chaniago menjelaskan pihaknya menyambut baik keputusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

Pembatalan tersebut dilakukan MA melalui putusan judicial review terhadap Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75/2019 tentang Jaminan Kesehatan. Dengan keputusan tersebut, iuran peserta mandiri BPJS Kesehatan kembali ke besaran sebelumnya.

"Saya berharap dengan keputusan ini pelayanan rumah sakit tetap berkualitas. Pemerintah perlu menyusun jalan keluar agar tidak defisit atau dapat mengurangi defisit setelah pembatalan kenaikan iuran berlaku," ujar Irma pada Senin (9/3/2020).

Dia menyarankan agar ke depannya, pemerintah tetap mengacu kepada regulasi yang berlaku dalam menetapkan besaran iuran. Selain itu, Irma pun menyarankan agar pemerintah mewajibkan peserta mandiri yang berpenghasilan di atas Rp25 juta per bulan untuk mengambil kelas 1.

Selain itu, untuk menekan defisit, DPR pun mendorong pemerintah agar dapat memaksimalkan upaya promotif preventif. Upaya tersebut dinilai dapat menjamin kesehatan keluarga sehingga anggaran pengobatan dapat diminimalisir.

DPR pun menilai bahwa peran Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) serta Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) harus lebih dioptimalkan. Program kedua badan pun harus disinergikan dengan program lain dari pemerintah, seperti dari Kementerian Kesehatan.

"Selain itu, kapitasi untuk rumah sakit dan puskesmas pun harus berdasarkan pelayanan, bukan berdasarkan kuota. Pemerintah pun harus memaksimalkan kepesertaan BPJS Kesehatan, mengontrol klaim rumah sakit, dan memperbaiki sistem teknologi informasi agar tidak terjadi fraud," ujar Irma.

Putusan MA ditetapkan oleh Hakim MA Supandi selaku ketua majelis hakim bersama Yosran dan Yodi Martono Wahyunadi, masing-masing sebagai anggota. MA menyatakan bahwa Pasal 34 Ayat 1 dan 2 Perpres itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan sejumlah undang-undang.

"[Pasal 34 ayat 1 dan 2] tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," ujar Juru Bicara Mahkamah Agung Andi Samsan Nganro, Senin (9/3/2020).

Adapun, gugatan tersebut awalnya dilakukan oleh Komunitas Pasien Cuci Darah pada akhir 2019. Mereka keberatan dengan kenaikan iuran peserta mandiri BPJS Kesehatan yang mencapai 100%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper