Bisnis.com, JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan akhirnya merilis aturan modal inti minimum perbankan senilai Rp3 triliun yang harus dipenuhi secara bertahap hingga 2022.
Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan OJK Nomor 12/POJK.03/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum, yang diterbitkan pada 16 Maret 2020 dan berlaku sejak diundangkan pada 17 Maret 2020.
Pengamat Perbankan dari Universitas Bina Nusantara Doddy Ariefianto mengatakan langkah OJK tersebut sangat tepat karena jumlah bank umum di Indonesia tidak berada dalam kisaran jumlah yang ideal. Apalagi, lebih dari 100 bank umum terlibat dalam sistem pembayaran sehingga berdampak ke stabilitas sistem keuangan.
"Memang perbankan Indonesia harus konsolidasi dan jumlah Rp3 triliun memadai. Malah dengan dipaksa ke buku II aturan ini masih terbilang soft," katanya kepada Bisnis, Selasa (24/3/2020).
Doddy menuturkan, jika melihat krisis 1998, bank diarahkan berada di kelompok bank umum kegiatan usaha (BUKU) III atau II dan beradasarkan arsitektur perbankan Indonesia (API) bank yang ideal diarahkan hanya berjumlah 40 bank.
Oleh karena itu, penerbitan POJK di saat situasi ekonomi yang sedang sulit saat ini, menurutnya, bukan bersifat memaksa pemilik bank untuk melakukan injeksi modal, melainkan merger. Opsi merger tidak membutuhkan waktu yang lama dan masih tetap bisa dilakukan dengan kondisi saat ini.
“Kalau saya liat spirit dari pengaturan ini bukan ditombok sama pemiliknya justru untuk bergabung, bukan pemilik bank diminta setor habis-habisan, 3 T juga besar itu,” ujar Doddy.
Menurut Doddy, peraturan baru tersebut pasti sudah disiapkan lama. Opsi yang paling memungkinkan adalah merger antar sesama bank kecil. Pasalnya bank besar yang menguasai sebagian besar market share kredit, tengah mengalami tantangan berat, yang mana ekonomi dunia diperkirakan resesi dan ekonomi Indonesia yang kemungkinan hanya tumbuh 3% atau bahkan tidak tumbuh.
“Tidak mungkin ujug-ujug keluar. Kalau lihat timingnya kenapa dikeluarkan sekarang, istilahnya bukan ditujukan pemilik segera menginjeksi modal, tapi saling merger, entah bank besar mengakuisisi bank kecil atau bank kecil saling merger," tutur Doddy.
Doddy menambahkan, relasaksi OJK memungkinkan bank melakukan opsi restrukturisasi kredit. Bank juga harus mengukur dampak tersebut ke peningkatan kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) jika ada debitur yang gagal bayar setelah masa relaksasi selesai.
"Bank besar sudah pusing memikirkan kredit, bank getar-getir juga karena relaksasi cuma obat sementara, di khawatirkan perusahaan ini tidak kuat kena pandemi corona, yang ada malah tutup. Misalnya perusahaan di sektor transportasi dan pariwisata, yang membutuhkan biaya operasional besar. Disuruh bayar bunga saja mungkin tidak akan sanggup 6 bulan dari sekarang," katanya.
Lebih jauh ia mengatakan, bila melihat periode normal sebelum pandemi virus corona saja, bank tidak agresif melakukan aksi asuisisi. Pada 2019, hanya BCA yang mencaplok 2 bank kecil. Sementara bank besar lainnya, juga bank BUMN tidak melakukan aksi akuisisi bank sama sekali