Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bantuan Likuiditas Pemerintah, Siapa Jadi Bank Jangkar?

Bank jangkar merupakan bank yang dapat menjalankan fungsi channeling atas bantuan likuiditas pemerintah.
Petugas menunjukkan uang rupiah dan dolar AS di salah satu gerai penukaran mata uang asing di Jakarta, Kamis (19/3/2020). Bisnis/Arief Hermawan P
Petugas menunjukkan uang rupiah dan dolar AS di salah satu gerai penukaran mata uang asing di Jakarta, Kamis (19/3/2020). Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA - Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) masih membahas terkait bank yang dapat menjalankan fungsi channeling atas bantuan likuiditas pemerintah atau menjadi bank jangkar.

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengatakan perbankan yang kemungkinan dapat menjadi bank jangkar adalah yang selama ini menjadi supplier pada pasar uang antar bank (PUAB). Namun, pembahasan detil masih akan dilakukan sebelum dituangkan dalam nota kesepahaman.

Menurutnya, banyak bank yang selama ini menjadi supplier dalam PUAB, yakni bank yang tergabung dalam himpunan bank milik negara (Himbara) dan sejumlah bank swasta. Hanya saja, untuk menjalankan fungsi sebagai bank jangkar masih perlu pembahasan. Finalisasi bank jangkar, lanjutnya, akan segera keluar.

"Di mana bank jangkar sebagai channeling dana yang disiapkan Kementerian Keuangan atas penjualan SBN ke Bank Indonesia, sehingga tanggung jawab tetap ada pada bank yang akan menggadaikan kredit yang direstrukturisasi," katanya dalam Live Konferensi Pers KSSK, Senin (11/5/2020).

Menurutnya, bantuan likuiditas dari pemerintah baru dapat diakses jika SUN dan repo yang terbatas. Bantuan likuiditas dari pemerintah dengan menggunakan skema penyangga ini pum dapat diajukan agar bank tidak mengalami kendala likuiditas.

"Kami optimis mudah-mudahan tdak terjadi itu [kendala likuiditas], tapi ini semua skema tadi bank-bank yang tentunya yang betul-betul terdampak Covid," katanya.

Adapun, OJK memproyeksi perbankan perlu pendanaaan likuiditas senilai Rp115,31 triliun atas kebijakan restrukturisasi kredit yang dilakukan selama enam bulan. Kebutuhan likuiditas tersebut berlaku untuk semua bank, kecuali bank buku IV dan bank BUMN yang dinilai tidak mengalami masalah likuiditas.

Menurutnya, dengan hanya memiliki fungsi channeling, bank jangkar tidak akan memiliki tanggung jawab sama sekali. Bahkan, sebagai channeling, bank jangkar justru dinilai akan diuntungkan.

"Jadi channeling saja, betul, bank peserta itu tidak mendapatkan risiko apa-apa, malah profit," katanya.

Soal mekanisme penyaluran bantuan, sebelumnya, pemerintah telah menempatkan dana maupun menerbitkan SBN ke bank peserta. Bank yang perlu tambahan likuiditas pun tinggal mengajukan proposal ke bank peserta tersebut.

Hasil keringanan kredit akan menjadi jaminan atau agunan atas pinjaman likuiditas yang disalurkan bank peserta. Pinjaman likuiditas yang diberikan akan berlangsung dalam jangka waktu pendek yakni maksimal 90 hari sesuai aturan BI dan OJK.

Sementara itu, risiko kredit dari kredit yang direstrukturisasi dan dijadikan jaminan tetap menjadi tanggung jawab bank bersangkutan. Pemerintah hanya menanggung risiko pada bank peserta atau tempat pemerintah menempatkan dana.

Tanggung jawab kredit justru tetap melekat pada bank yang melakukan penggadaian. Apabila, bank bersangkutan tidak bisa membayar pinjaman likuiditas, akan menimbulkan risiko pada pemerintah.

"Nah, itu risikonya ada di pemerintah kalau sampai bank pelaksana yang menggadaikan itu tidak bisa membayar gadaiannya," katanya.

Perlu dicatat, bantuan likuiditas tersebut, hanya berlaku terhadap bank yang melakukan restrukturisasi kredit maksimal Rp10 miliar yang terdampak Covid-19. Selain itu, bank yang mendapat bantuan likuiditas juga harus merupakan bank sehat.

Apabila sebelum Covid-19 terjadi, bank masih dalam kondisi sehat, bantuan likuiditas lewat mekanisme ini bisa diberikan.

Menurutnya, hal tersebut dilakukan, agar bank yang sebelumnya tergolong sehat tidak terganggu karena Covid-19.

Sementara itu, bank yang tergolong tidak sehat sebelum Covid-19 terjadi, dapat memakai skema lain yakni melakukan merger maupun skema yang disiapkan LPS.

"Ada salah satu kondisi karena ada hal lain ternyata tidak bisa, tapi semua tadi sudah kita scan, harus bank sehat," katanya

Sekilas, langkah pemerintah ini hampir serupa saat terjadi krisis ekonomi 1998. Sebagai upaya mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, pada 26 Januari 1998, pemerintah memutuskan untuk menjamin pembayaran seluruh kewajiban bank, baik kepada deposan maupun kreditur lewat program penjaminan (blanket guarantee).

Penjaminan juga diberlakukan bagi nasabah kreditur 16 Bank dalam Likuidasi (BDL), Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU), Bank Take Over (BTO), bank yang masuk program rekapitalisasi, dan bank lain dalam pengawasan BPPN, dengan memenuhi syarat-syarat penjaminan yang telah ditetapkan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper