Bisnis.com, JAKARTA — Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dinilai perlu membenahi tata kelola dan melaksanakan rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi, alih-alih menaikkan iuran terlebih dahulu.
Hal tersebut disampaikan oleh Wakil Ketua KPK periode 2015–2019 Laode Muhammad Syarif pada Senin (18/5/2020). Melalui cuitan di akun Twitternya, @LaodeMSyarif, dia menilai bahwa BPJS Kesehatan semestinya tidak menaikkan iuran terlebih dahulu.
Menurutnya, BPJS Kesehatan harus melakukan perbaikan tata kelola secara menyeluruh. Rekomendasi perbaikan itu pun telah disampaikan oleh KPK semasa Laode menjabat, tetapi belum digubris hingga saat ini.
"Benahi tata kelolanya dulu, bukan naikan iuran. Kajian KPK di masa kami menunjukan jelas ada indikasi fraud, tapi rekomendasi KPK tidak dijalankan oleh Menteri Kesehatan sekarang dan BPJS Kesehatan," tulis Laode pada Senin (18/5/2020).
Cuitan tersebut mendapatkan respon beragam dari warganet, sebagian besar menyampaikan keberatan atas kenaikan iuran program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Akun @Haaa_syim misalnya, dia menilai bahwa kenaikan iuran tidak akan berpengaruh signifikan jika perbaikan tata kelola tidak dilaksanakan oleh BPJS Kesehatan.
Baca Juga
"Iuran mau naik sepuluh kali lipat pun, kalau tata kelolanya jelek ya sama saja," tulis @Haaa_syim membalas cuitan Laode.
Sebelumnya, pada Jumat (13/3/2020) KPK menyampaikan hasil kajian pada sektor kesehatan bertajuk Kajian Tata Kelola Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan. KPK menemukan adanya sejumlah permasalahan, seperti keterlambatan pembayaran klaim, tunggakan iuran, dan adanya fraud dalam proses klaim.
KPK pun memberikan sejumlah saran, seperti percepatan penyusunan Pedoman Nasional Praktik Kedokteran (PNPK) esensial oleh Kementerian Kesehatan. Komisi anti rasuah pun menyarankan adanya pembatasan manfaat untuk penyakit katastropik akibat gaya hidup karena menyedot sekitar 30 persen dari total klaim BPJS Kesehatan.
"KPK memberikan rekomendasi tindak lanjut verifikasi klaim untuk mengatasi fraud di lapangan berupa administrasi [pengembalian klaim], perdata [pemutusan kontrak kerja sama], dan pidana," tertulis dalam hasil kajian KPK.