Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bantuan Likuiditas Hanya untuk Bank Sehat. Bagaimana Nasib Bank Sakit?

Penyangga likuiditas ini untuk mengatasi terdampaknya cash flow bank/BPR/multifinance karena restrukturisasi debitur. Dengan demikian bank masih bisa membayar kewajiban deposan atau penabung dan masih dapat menyalurkan kredit
Ilustrasi Bank/Istimewa
Ilustrasi Bank/Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah menyediakan bantuan likuiditas kepada bank yang melakukan restrukturisasi kredit pada pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah. Bantuan ini disalurkan kepada bank jangkar untuk diteruskan pada bank pelaksana.

Bantuan penempatan dana ini diberikan untuk meringankan bank yang tengah mengalami pengetatan likuiditas saat melakukan restrukturisasi kredit bermasalah.

Pasalnya, saat memberikan keringanan kredit, berupa penundaan pokok dan bunga, akan memengaruhi neraca liabilitas perbankan atau simpanan masyarakat apabila terjadi jatuh tempo, seperti simpanan deposito.

Sebenarnya ada opsi untuk mendapatkan fasilitas likuiditas dari pasar uang antarbank (PUAB), yakni praktik pinjam-meminjam antarbank dengan tenor pendek. Namun, karena terjadi segmentasi likuiditas membuat skema ini tidak jalan.

Begitu juga dengan fasilitas repo atau gadai surat berharga ke Bank Indonesia. Instrumen ini terbatas kepada bank yang memiliki surat berharga negara (SBN) berlebih, terutama bank besar. Adapun bank kecil dan perusahaan pembiayaan cenderung memiliki SBN terbatas.

Oleh sebab itu, pemerintah memberikan opsi bantuan likuiditas kepada perbankan. Skema ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 23/2020 tentang Program Pemulihan Ekonomi Nasional, yakni aturan turunan dari Perpu No. 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Covid-2019.

Dalam aturan tersebut disampaikan bahwa penyaluran bantuan likuiditas dilakukan oleh bank jangkar atau bank peserta. Pemerintah menetapkan kriteria bank jangkar, yakni berbadan hukum Indonesia, beroperasi di wilayah Indonesia, dan minimal 51% saham dimiliki oleh warga negara Indonesia.

Bank juga harus memiliki kategori sehat berdasarkan penilaian OJK dan termasuk dalam kategori 15 bank beraset terbesar. Penetapan bank jangkar ditentukan oleh Kementerian Keuangan dan OJK.

Adapun, syarat bagi bank pelaksana agar bisa mengakses likuiditas di bank jangkar adalah melakukan program restrukturisasi atau penyaluran kredit modal kerja pada pelaku UMKM. Selain itu, bank terkait memiliki portofolio surat berharga minimal 6 persen dari dana.

Tidak hanya bank umum yang bisa mendapatkan akses likuiditas kepada bank jangkar, bank perkreditan rakyat dan perusahaan pembiayaan. Ada kriteria sendiri bagi kedua entitas ini untuk mengakses bantuan likuiditas.

Yang paling utama bank yang bisa mengakses bantuan likuiditas ini adalah bank sehat. Bank tidak tercatat bermasalah dalam permodalan, kredit macet, hingga rasio keuangan lainnya.

“Penyangga likuiditas ini untuk mengatasi terdampaknya cash flow bank/BPR/multifinance karena restrukturisasi debitur. Dengan demikian bank masih bisa membayar kewajiban deposan atau penabung dan masih dapat menyalurkan kredit,” kata Deputi Komisioner Humas dan Logistik Otoritas Jasa Keuangan Anto Prabowo, Selasa (19/5/2020).

Dia menegaskan bahwa penyangga likuiditas untuk bank sehat tidak untuk mengatasi permasalahan solvabilitas dari bank/BPR.

BANK SAKIT

Lalu bagaimana dengan nasib bank sakit apabila tidak bisa mengakses bantuan likuiditas? Menurut Anto, penanganan masalah solvabilitas atau tingkat kemampuan bank dalam memenuhi kewajiban dilakukan melalui tambahan modal dari pemegang saham atau investor.

Opsi lainnya yang bisa dilakukan bank yang tengah menghadapi masalah solvabilitas adalah dengan melakukan merger atau akuisisi. “Kemungkinan lain bisa melaksanakan merger, konsolidasi, dan akuisisi,” terangnya.

OJK sendiri menutup informasi mengenai apakah ada bank yang masuk kategori tidak sehat dan dilarang mendapatkan fasilitas bantuan likuiditas. 

Sejak peristiwa Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang merugikan negara ratusan triliun rupiah dan kasus penyelamatan PT Bank Century Tbk. pemerintah mentutup opsi untuk menyelamatkan bank dengan dana talangan atau bailout.

Dalam UU No. 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK) disebutkan bahwa penanganan bank gagal hanya dilakukan dengan opsi penyelamatan sendiri (bail in).

Apabila tidak mampu, bank akan diputuskan di Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk ditetapkan berdampak sistemik apa tidak. Baik berdampak sistemik atau tidak, penanganan bank gagal tetap dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan untuk berhitung untung rugi apabila ditutup.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper