Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Antisipasi Lonjakan NPL Pasca Pandemi, Bank Ina Pupuk Pencadangan

Dampak dari pelemahan ekonomi saat ini belum berpengaruh besar pada rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) perseroan saat ini sehingga Bank Ina memerlukan pencadangan yang kuat.
Gedung PT Bank Ina Perdana Tbk/Istimewa
Gedung PT Bank Ina Perdana Tbk/Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA - PT Bank Ina Perdana Tbk. (BINA) tengah giat memupuk pencadangan untuk mengantisipasi pemburukan kualitas aset usai pandemi Covid-19.

Direktur Utama Bank Ina Perdana Daniel Budirahayu mengatakan dampak dari pelemahan ekonomi saat ini belum berpengaruh besar pada rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) perseroan saat ini.

Pasalnya, relaksasi yang diberlakukan regulator membantu kredit debitur yang terdampak Covid-19 tetap tergolong lancar sehingga tidak menjadi NPL.

Namun, ketika relaksasi pemberian restrukturisasi untuk debitur yang terdampak pandemi Covid-19 berakhir pada 2021, dia mengkhawatirkan kredit yang direstrukturisasi tersebut akan menjadi kredit bermasalah. Alhasil, dia memandang Bank Ina perlu membentuk pencadangan yang kuat.

"Kami antisipasi saat relaksasi berakhir di Maret 2021, jadi kami perbesar CKPN [cadangan kerugian penurunan nilai], untuk mencegah ketika debitur itu tidak bisa bangkit, dengan menambah cadangan untuk write off," katanya dalam konferensi pers virtual, Jumat (5/6/2020).

Perseroan mencatat rasio pencadangan (coverage ratio) saat ini sebesar 135 persen. Daniel mengatakan pihaknya tetap mengantisipasi meski sudah ada relaksasi berupa restrukturisasi.

"NPL setelah 2021 jika tidak diperpanjang oleh OJK, itu yang harus kami hati-hati sekali karena NPL bisa tinggi peningkatannya, kecuali jika OJK melihat perlu diperpanjang maka NPL tidak berubah banyak," jelasnya.

Dalam hal ini, perseroan akan tetap memonitor perkembangan kondisi debitur terdampak Covid-19 yang diberikan restrukturisasi.

"Kami sudah minta kantor cabang dan kantor pusat untuk me-monitoring debitur-debitur yang kena dampak Covid-19 ini. Tentunya kita tidak bisa melakukan kunjungan ke nasabah, tapi bisa by phone dan secara reguler untuk update perkembangan bisnisnya," tuturnya.

Daniel mengungkapkan perseroan juga memberikan perhatian pada kredit-kredit yang telah direstrukturisasi sebelum adanya pandemi Covid-19. Dengan kondisi ekonomi yang semakin berat, dikhawatirkan juga debitur ini akan kesulitan mengangsur.

Agar kredit debitur tersebut tidak menjadi NPL, imbuhnya, maka perseroan akan tetap memberikan waktu sesuai dengan perjanjian perseroan dengan debitur untuk mencari solusi jika memang sulit membayar.

"Kami juga membantu karena sekarang menjual aset tidak mudah. Kami juga sudah ajukan ke OJK untuk memperpanjang berlakunya AYDA [aset yang diambil alih], sekarang kan diberlakukan 1 tahun, kalau tidak terjual maka harus ada pencadangan, kami minta diperpanjang sampai pembentukan pencadangan ini," jelasnya.

Selama masa pandemi perseroan mencatat sebanyak 90 debitur telah mengajukan restrukturisasi dengan nominal sebesar Rp700 miliar. Kredit yang direstrukturisasi tersebut didominasi oleh segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan sebagian debitur korporasi yang bergerak di sektor perhotelan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Maria Elena

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper