Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) meminta pemerintah mengembalikan ranah koperasi ke tangan rakyat, sebagai respons atas proyek Presiden Prabowo Subianto berupa 80.000 Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih.
Ketua AKSES, Suroto, menilai salah satu masalah paling mendasar dari program Kopdes Merah Putih adalah bahwa para pengurus koperasi yang ditunjuk sebagian besar tidak memahami apa itu koperasi, baik secara konseptual maupun praktik pengelolaannya.
Padahal, menurutnya koperasi bukan sekadar alat distribusi modal atau tempat menyimpan dana, tetapi merupakan wadah kolektif yang dijalankan berdasarkan prinsip otonomi, demokrasi, partisipasi aktif anggota, solidaritas dan kemandirian.
"Di lapangan, koperasi yang dibentuk melalui program ini cenderung menjadi koperasi pasif. Menunggu instruksi dan tidak ada kebermaknaan sebagai lembaga demokrasi warga. Tidak ada perencanaan usaha yang hidup, dan tidak ada pengembangan berbasis kebutuhan lokal. Bahkan, banyak pengurus sendiri tidak memahami anggaran dasar dan anggaran rumah tangga koperasi mereka," kata Suroto kepada Bisnis, dikutip pada Selasa (5/8/2025).
Menurutnya, koperasi seharusnya tumbuh dari bawah ke atas (bottom-up), dari kebutuhan dan aspirasi lokal, dari masalah yang dihadapi komunitas sendiri. Maka ketika segala sesuatunya ditentukan dari pusat seperti halnya Kopdes Merah Putih ini, maka rakyat desa kehilangan ruang untuk mengembangkan inisiatif, kreativitas, dan kepemilikan terhadap organisasi yang dibentuk atas nama mereka.
Alhasil, Suroto melihat Kopdes Merah Putih hanya menjadi sebuah proyek negara, bukan menjadi koperasi yang seharusnya menjadi sebuah gerakan rakyat. Dia khawatir, Kopdes Merah Putih hanya akan aktif selama proyek berjalan, dan kembali mati ketika dukungan dari pusat berhenti. Hal tersebut menurutnya seperti kasus Koperasi Unit Desa (KUD) di masa orde baru.
Baca Juga
Karena terikat oleh instruksi pemerintah, menurutnya koperasi justru akan terbebani struktur administratif yang rumit, penuh pelaporan teknis, dan berorientasi proyek, alih-alih menjadi alat pemberdayaan masyarakat lokal.
Maka dengan mempertimbangkan itu semua, Suroto berharap ada gerakan deofisialisasi.
"Artinya, mengembalikan koperasi dari tangan negara ke tangan rakyat. Koperasi harus dibebaskan dari dominasi birokrasi dan logika proyek. Ia harus tumbuh sebagai organisasi rakyat yang mandiri, otonom, dan berakar kuat di komunitas lokal," tegasnya.
Dia menjelaskan bahwa deofisialisasi bukan sekadar soal pengurangan intervensi negara, tetapi soal perombakan struktural terhadap sistem pembangunan koperasi itu sendiri. Sementara, negara harus mengambil posisi baru sebagai fasilitator, bukan pelaksana.
Dalam hal ini, negara hanya berperan dalam membuka ruang, menyediakan infrastruktur, memberi insentif kebijakan, serta menjamin iklim kelembagaan yang memungkinkan koperasi tumbuh sehat dan demokratis.
Suroto menjelaskan deofisialisasi juga berarti membongkar sistem hukum yang saat ini cenderung menempatkan koperasi dalam kerangka administratif yang kaku. Untuk itu, Undang-Undang Perkoperasian harus direvisi untuk memberi ruang lebih luas pada model koperasi komunitas yang tidak bergantung pada pengesahan birokrasi.
Apalagi, dia menjelaskan bahwa dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 jelas mengatur perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Dengan landasan tersebut, menurutnya koperasi adalah bentuk paling konkret dari demokrasi ekonomi, tetapi hanya akan bermakna bila dijalankan dengan prinsip-prinsip yang sesuai, yaitu kesetaraan, partisipasi, solidaritas dan kemandirian.
"Kopdes Merah Putih dalam bentuknya sekarang adalah kepalsuan yang harus kita akhiri. Dia mungkin lahir dari niat baik, tetapi dijalankan dengan pendekatan keliru. Dia melahirkan koperasi-koperasi artifisial, membunuh semangat inisiatif warga, dan memelihara ketergantungan terhadap negara," pungkasnya.