Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bank Indonesia Buka-bukaan Soal Tantangan Pemulihan Ekonomi

4 tantangan yang dihadapi BI untuk dalam pemulihan ekonomi tersebut, yaitu permintaan kredit yang masih rendah, stabilisasi nilai tukar rupiah, likuiditas, hingga kesiapan BI jika pandemi Covid-19 berkepanjangan.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo memberikan paparan dalam pembukaan CORE Economic Outlook 2019 bertajuk Memperkuat Ekonomi di tengah Tekanan Global, di Jakarta, Rabu (21/11/2018)./JIBI-Felix Jody Kinarwan
Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo memberikan paparan dalam pembukaan CORE Economic Outlook 2019 bertajuk Memperkuat Ekonomi di tengah Tekanan Global, di Jakarta, Rabu (21/11/2018)./JIBI-Felix Jody Kinarwan

Bisnis.com, JAKARTA - Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedua tahun ini akan lebih buruk dari angka kuartal I/2020 yang sebesar 2,97 persen.

Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo mengatakan faktor pertumbuhan ekonomi kuartal II/2020 yang rendah disebabkan oleh faktor supply dan demand yang lemah akibat pandemi Covid-19.

Meski demkian, Dody menyatakan optimis ekonomi Indonesia tidak akan menuju ke titik resesi tahun ini meski dampak dari pandemi Covid-19 sangat signifikan.

"BI memperkirakan pertumbuhan PDB 2020 akan berada di kisaran 0,9-1,9 persen, pertumbuhan paling dalam di kuartal kedua. Kita optimis bisa meuju batas atas 1,9 persen," katanya dalam webinar, Jumat (3/7/2020)

Dody menyampaikan, untuk terus mendorong upaya pemulihan ekonomi, BI akan tetap menerapkan kebijakan yang akomodatif. Ruang penurunan suku bunga pun masih terbuka sepanjang inflasi dan nilai tukar rupiah terjaga stabil. Kebijakan quantitative easing pun akan tetap dilanjutkan.

Dody memaparkan ada empat tantangan yang dihadapi BI untuk dalam mendorong pemulihan ekonomi tersebut, mulai dari permintaan kredit yang masih rendah, stabilisasi nilai tukar rupiah, likuiditas, hingga kesiapan BI jika pandemi Covid-19 berkepanjangan.

Pertama, Dody mengatakan penurunan suku bunga acuan terus dilakukan BI, namun di sisi lain pertumbuhan kredit dan pembiayaan masih lemah.

Dia menilai, kapasitas likuiditas yang dimiliki perbankan saat ini cukup besar, namun pertumbuhan kredit masih sangat rendah.

Per Mei 2020, kredit perbankan tercatat hanya tumbuh 3,04 persen secara tahunan. Sementara itu, dana pihak ketiga tumbuh jauh lebih tinggi, yaitu sebesar 8,8 persen secara tahunan.

"Angka 3 persen ini gambaran dari permintaan yang rendah, tatapi melihat likuiditas yang sangat besar ini menjadi tantangan bagaimana kredit bisa tumbuh. Tentu harus ada permintaan sektor riil, jadi BI terus bersinergi dengan pemerintah mendorong sektor riil," katanya, Jumat (3/7/2020).

Di samping itu, Dody juga menyoroti penurunan suku bunga perbankan yang relatif rendah. Sejak medio 2019 lalu, BI telah memangkas suku bunga acuan sebesar 175 basis poin (bps), suku bunga di pasar uang antar bank (PUAB) juga telah turun 125 bps, sementara bunga kredit bank hanya turun sebesar 69 bps.

Tantangan kedua kata Dody adalah menstabilkan nilai tukar rupiah. Menurutnya nilai tukar rupiah tidak mudah dikelola karena berhadapan dengan ekpektasi dan confidence di pasar.

Dalam beberapa hari terakhir, nilai tukar rupiah kembali melemah, yang disebabkan oleh masalah domestik, seperti berkembangnya isu akan munculnya gelombang kedua pandemi Covid-19, termasuk isu DPR terkait burden sharing.

"Ini berakibat rupiah pagi ini tertekan. jadi ini yang menunjukkan upaya stabilitas nilai tukar harus dilakukan secara tepat oleh BI," jelasnya.

Ketiga, BI telah menggelontorkan Rp614 triliun untuk kebutuhan likuiditas di pasar melalui jalur yang bukan pembelian SBN di pasar perdana, melainkan melalui operasi moneter BI.

"Kita sudah lakukan sejak Januari sampai Juli. Jadi memang bank cukup ample secara likuiditas, hanya saja distribusi likuiditas antar bank tidak sama, bank kecil mungkin mengalami pengetatan likuiditas," katanya.

Tantangan keempat kata Dody adalah persiapan BI jika kondisi pandemi saat ini kian memburuk. Imbuhnya, Perppu 1/2020 mengizinkan BI untuk meminta kepada pemilik devisa, dalam hal ini adalah eksportir SDA, untuk mengkonversikan devisa ekspornya kedalam rupiah.

"Ini merupakan jalan terakhir jika diperlukan. Ini sebagai upaya mengelola likuiditas, akan dilakukan secara hati-hati dan hanya dilakukan kepada eksportir tertentu, tentunya domestik, sehingga tidak mengganggu aliran dana masuk maupun keluar milik asing," jelas Dody.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Maria Elena
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper