Membaca pemberitaan Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 (AJB Bumiputera) mengingatkan pada ‘jeritan sedih’ sanak saudara di kampung halaman sebagai pemegang polis sekaligus ‘pemilik’ perusahaan. Mereka seperti menunggu kedatangan ‘Sang Godot’ yaitu dibayarnya klaim asuransi yang sudah jatuh tempo.
AJB Bumiputera adalah asuransi pilihan utama untuk menyiapkan biaya pendidikan bagi para guru dan pegawai yang populer pada 1990-2000.
Seiring perubahan sosial politik dan krisis ekonomi, perusahaan ini mengalami masalah yang serius, baik dari sisi keuangan, manajerial, tata kelola, mentalitas, dan keteladanan.
Usai krisis 1998, perusahaan menghadapi masalah yang sangat serius yaitu solvabilitas. Kewajiban jauh lebih besar daripada kekayaannya. Praktis AJB Bumiputera adalah Zombie Company. Kenapa masalahnya berlarut? Karena dulu pengawas asuransi yaitu Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) dan yang diawasi yaitu direksi dan komisaris AJB Bumiputera sepakat menyembunyikan masalah keuangan ini.
Asal ada niat, praktek menyembunyikan masalah melalui creative accounting sangat mudah karena kewajiban membayar klaim baru akan menjadi ‘kewajiban nyata’ setelah lima atau sepuluh tahun kemudian.
Angka pasti kewajiban yang ditanggung AJB Bumiputera tidak diketahui. Dari data publik, yaitu laporan Pengelola Statuter pada 2016, defisit keuangan perusahaan pada periode 2017—2021 sekitar Rp2,5 triliun. Itu adalah angka defisit per tahun, bukan defisit total. Informasi yang benar terkait kondisi internal tidak disajikan di situs perusahaan.
Hanya ada sepenggal kutipan pernyataan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yaitu arah penyehatan perusahaan berada pada on the right track. Terakhir, OJK menjatuhkan surat peringatan ketiga karena tidak terpenuhinya ketentuan jumlah direksi dan komisaris.
Permasalahan solvabilitas ini timbul karena banyak hal tetapi kerap yang disalahkan adalah krisis ekonomi 1998 ketika perusahaan mengeluarkan beberapa produk dalam denominasi dolar AS. Namun masalah intinya adalah perusahaan melakukan investasi pada aset yang bermasalah. Bukannya mendapat keuntungan tetapi malah ‘buntung’. Saat ini masalahnya sudah diikuiti dengan kelangkaan likuiditas karena makin banyak polis yang jatuh tempo.
Selama ini penyelesaian masalah Bumiputera ibarat memberikan obat penurun panas pada pasien kanker kronis. Para pejabat yang pernah memimpin Bapeppam-LK sepatutnya memberi penjelasan jujur atas masalah ini. Tentu saja termasuk Asuransi Jiwasraya.
Program penyehatan organik telah dicetuskan, bahkan didukung keputusan Menteri Keuangan Nomor 504/KMK.06/2004. Kriteria penyehatan seperti solvabilitas, batasan investasi dan cadangan, likuiditas, retensi sendiri dan deposito jaminan sangat jelas. Pertanyaannya, kenapa ini tidak berhasil?
Bappepam-LK sudah mencurigasi praktek tidak sehat di AJB Bumiputera dan akhirnya menolak direksi dalam fit and proper test. Seharusnya setelah ada gugatan, tindakan hukum harus dilakukan kepada direksi yang ‘nakal’. Alhasil ketika pengawasan industri asuransi diserahkan ke OJK, masalah AJB Bumiputera sudah sangat kacau. Data terakhir yang ada per September 2019, total aset hanya Rp10,28 triliun, sementara kewajiban Rp30 triliun.
Karena itu janji direksi bahwa seluruh klaim akan dibayar adalah jelas tidak masuk akal. Sayangnya sampai saat ini direksi dan Badan Perwakilan Anggota (BPA) tidak berusaha mencari celah hukum untuk menarik kembali atau menuntut ganti rugi kepada direksi dan pegawai yang sengaja melakukan kecurangan dalam investasi. Ini pelanggaran fiduciary of duty.
Kementrian Keuangan sebagai otoritas asuransi saat itu tidak boleh lepas tangan. Membiarkan politisi menjadi bagian bisnis AJB Bumiputera jelas kesalahan fatal. Jangan sampai ada tuduhan ‘jebakan Batman’ karena Kementrian Keuangan membiarkan kasus ini berlarut-larut dari dulu. Publik bisa berkesimpulan masalah AJB Bumiputera sengaja dibiarkan agar menjadi tanggung jawab OJK sebagai otoritas baru.
Problem mendasar struktur kepemilikan bersama (mutual) adalah tidak adanya insentif pemilik melakukan pengawasan. Bukti-bukti terjadinya mismanajemen sudah nyata. Namun tidak ada pemegang polis ‘pemilik’ yang protes karena pasti akan kandas. BPA yang banyak diisi oleh pejabat, politisi dan tokoh masyarakat tidak berfungsi sebagaimana harusnya.
Otoritas pengawas yaitu Bappepam-LK seperti tutup mata. Pernyataan mantan Komisaris Independen Bumiputera Irvan Raharjo bahwa ada modus sengaja ‘membobol’ perusahaan seharusnya menjadi pintu masuk untuk melakukan tindakan.
Setelah OJK menjadi pengawas, langkah tegas mulai dilakukan. Apakah OJK bisa menyelesaikan masalah ini, rasanya mission imposible. Masalahnya sudah terlalu berat. Harus ada external fresh money. Langkah drastis amat mendesak. Harapan paling realistis dan satu-satunya bagi nasabah adalah pelaksanaan ketentuan Peraturan Pemerintah No. 87 tahun 2019 yaitu de-mutualisasi.
Amerika Serikat dan Inggris melakukan praktek demikian, sehingga perusahaan yang awalnya mutual menjadi perseroan terbatas. Artinya investor dengan uang segar bisa masuk sebagai pemilik agar bisa dipakai membayar klaim.
Sayangnya opsi ini banyak dihalangi sehingga hanya jalan di tempat. Bagi nasabah yang klaimnya jatuh tempo, mereka sudah tidak peduli dengan segala hal idealisme maupun nilai histori masa lalu AJB Bumiputera. Prioritasnya adalah klaim dibayar untuk bisa membiayai anak cucunya menempuh pendidikan lebih tinggi. Semoga OJK ada di sisi nasabah.