Bisnis.com, JAKARTA — Industri asuransi jiwa mencatatkan perkembangan pesat di negara-negara berkembang dan menyumbang porsi pertumbuhan premi terbesar secara global dalam sepuluh tahun terakhir. Terdapat tiga kunci untuk mencapai peluang utam pengembangan industri dalam dekade mendatang.
Lembaga riset McKinsey mempublikasikan laporan bertajuk The Future of Life Insurance yang menggambarkan bahwa industri asuransi jiwa telah melewati tantangan besar untuk menjaga pertumbuhan dan profitabilitas dalam satu dekade terakhir. Terdapat sejumlah perubahan signifikan yang terjadi di industri proteksi.
Salah satu temuan paling mencolok adalah tumbuhnya kontribusi premi asuransi jiwa di negara-negara berkembang terhadap total premi secara global. Bahkan, lebih dari separuh pertumbuhan premi asuransi yang terjadi dalam sepuluh tahun terakhir berasal dari negara berkembang.
McKinsey mencatat bahwa pada 2010, total premi global asuransi jiwa mencapai US$1.961 miliar, 85 persen di antaranya atau sekitar US$1.666,85 miliar berasal dari negara maju dan 15 persen sisanya atau sekitar US$295,15 miliar berasal dari negara berkembang. Perubahan cukup pesat terjadi satu dekade setelahnya.
Pada 2019 McKinsey mencatat bahwa premi global asuransi jiwa mencapai US$2.582 miliar. Kontribusi negara maju tercatat menjadi 76 persen atau sekitar US$1.962,32 miliar atau tumbuh US$295,47 dari posisi 2010, sedangkan kontribusi negara berkembang menjadi 24 persen atau sekitar US$619,68 miliar atau tumbuh US$324,53 miliar.
Dalam satu dekade terakhir tercatat adanya pertumbuhan premi asuransi jiwa secara global sebesar US$621 miliar. Dari jumlah tersebut, 52 persen di antaranya berasal dari negara berkembang dan sisanya dari negara maju, yang masyarakatnya telah memiliki pemahaman tentang asuransi lebih baik.
"Negara berkembang, terutama pasar berkembang di Asia yang sebelumnya merupakan kontributor kecil, telah menjadi pendorong pertumbuhan global dan sekarang menyumbang lebih dari setengah pertumbuhan premi global dan 84 persen pertumbuhan anuitas individu," tertulis dalam laporan McKinsey tersebut.
Terdapat banyak faktor yang memengaruhi pertumbuhan asuransi jiwa di negara berkembang, yang didasari oleh masih rendahnya penetrasi asuransi. Namun, McKinsey menyoroti besarnya peran teknologi dalam mendorong pertumbuhan premi asuransi tersebut.
Meskipun begitu, terdapat tantangan baru yang lahir dalam satu dekade terakhir bagi industri asuransi jiwa di negara-negara berkembang, khususnya di Asia, yakni ketidakpastian imbal hasil bagi shareholders. McKinsey mencatat bahwa terdapat volatilitas imbal hasil di pasar Asia Pasifik.
McKinsey mengukur bahwa tingkat imbal hasil bagi shareholders di Asia Pasifik menurun setelah 2010 dan baru kembali mencapai titik yang sama pada pada 2015 dan sempat menurun lagi. Setelah itu, pertumbuhan imbal hasil baru terlihat jelas sejak 2017, tetapi terancam kembali anjlok pada 2020 akibat pandemi virus corona.
Rencahnya imbal hasil bagi shareholders itu dinilai terjadi salah satunya karena perusahaan asuransi jiwa tidak mendapatkan keuntungan dari bull market, akibat suku bunga yang tertekan secara global. Selain itu, penetrasi asuransi secara global yang turun menjadi 3% pun menjadi tantangan besar bagi industri di negara berkembang.
"Baru-baru ini pandemi Covid-19 menekan tingkat suku bunga global, bahkan lebih rendah daripada yang terlihat saat krisis keuangan global 2007–2008, yang menyebabkan dampak tidak proporsional pada saham asuransi jiwa dibandingkan dengan pasar lainnya," tertulis dalam laporan tersebut.
Lembaga riset tersebut menilai bahwa industri asuransi jiwa memiliki sejumlah peluang yang menjanjikan dalam dekade mendatang, salah satunya karena permintaan asuransi secara global mencapai titik tertingginya sepanjang masa. Adanya pandemi Covid-19 membuat masyarakat dunia memerlukan perlindungan jiwa dan kesehatan.